Dalam banyak keluarga dan sekolah, disiplin masih sering diajarkan melalui sistem reward and punishment---hadiah bagi yang patuh, hukuman bagi yang melanggar. Pendekatan ini tampak efektif dalam jangka pendek, tetapi apakah anak benar-benar memahami makna disiplin atau sekadar patuh demi imbalan dan takut hukuman? Jika motivasi mereka hanya berasal dari faktor eksternal, akankah mereka tetap disiplin saat hadiah tak lagi diberikan atau hukuman tak lagi mengancam? Inilah alasan pentingnya kindness strategy---pendekatan yang menumbuhkan kesadaran dari dalam diri anak, bukan sekadar mengatur perilaku. Dengan menanamkan nilai kebaikan, empati, dan tanggung jawab, kita tidak hanya membentuk anak yang patuh, tetapi juga yang memahami dan memilih berbuat baik dengan kesadaran penuh. Kini saatnya beralih dari kepatuhan semata menuju pendidikan yang membangun karakter sejati.
Mengapa Reward and Punishment Tidak Cukup?
Pada awalnya, sistem hadiah dan hukuman memang tampak berhasil. Anak yang diberi bintang emas karena menyelesaikan tugasnya merasa senang dan termotivasi untuk mengulanginya. Sebaliknya, anak yang dihukum karena datang terlambat menjadi lebih berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahannya. Namun, di balik efektivitasnya yang tampak jelas, ada hal yang perlu kita renungkan: apakah anak benar-benar belajar tentang disiplin dan tanggung jawab, atau sekadar bereaksi terhadap hadiah dan hukuman?
Ketika terlalu sering bergantung pada sistem ini, anak cenderung hanya melihat aturan sebagai sesuatu yang datang dari luar dirinya. Ia patuh bukan karena memahami nilai dari kedisiplinan, melainkan karena ingin mendapat hadiah atau menghindari konsekuensi. Akibatnya, begitu hadiah tak lagi diberikan atau hukuman tak lagi mengancam, motivasi pun menghilang. Anak mungkin akan bertanya, "Kalau tidak ada hadiah, kenapa harus melakukannya?" atau "Kalau tidak ada hukuman, apa salahnya melanggar?"
Lebih dari sekadar membentuk kebiasaan, disiplin sejati seharusnya berakar pada pemahaman dan kesadaran. Anak yang belajar tentang tanggung jawab karena melihat manfaatnya akan tetap melakukannya, bahkan tanpa pengawasan. Sebaliknya, jika disiplin hanya didorong oleh hadiah dan hukuman, maka kebiasaan itu bisa rapuh dan mudah luntur seiring bertambahnya usia. Inilah mengapa kita perlu melampaui cara-cara yang bersifat sementara dan mulai menanamkan nilai-nilai yang lebih dalam---nilai yang akan bertahan, bahkan ketika tidak ada yang melihat.
Kindness Strategy: Mendidik dengan Hati
Jika reward and punishment mengajarkan anak untuk bertindak berdasarkan imbalan atau konsekuensi, maka kindness strategy menawarkan sesuatu yang lebih mendalam---pendekatan yang menumbuhkan motivasi dari dalam diri anak. Alih-alih bergantung pada hadiah atau hukuman, strategi ini membantu anak memahami mengapa suatu tindakan baik perlu dilakukan. Dengan demikian, disiplin tidak lagi menjadi sesuatu yang dipaksakan, tetapi tumbuh sebagai kesadaran yang lahir dari hati.
Dalam pendekatan ini, orang tua dan guru bukan sekadar pemberi aturan, tetapi teladan yang menginspirasi. Anak belajar bukan hanya dari kata-kata, tetapi terutama dari apa yang mereka lihat dan rasakan. Saat orang dewasa di sekitarnya menunjukkan kejujuran, tanggung jawab, dan kasih sayang, anak akan lebih mudah memahami nilai-nilai tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, yang ingin dibangun dari kindness strategy bukanlah kepatuhan sesaat, melainkan kesadaran moral---kesadaran bahwa berbuat baik bukan karena diperintah, melainkan karena itu adalah pilihan yang benar. Anak yang tumbuh dengan pemahaman ini tidak akan bertanya, "Apa hadiahnya kalau aku membantu? atau "Apa hukumannya kalau aku melanggar?" Sebaliknya ia akan bertanya, "Apakah ini baik? Apakah ini bermanfaat bagi diriku dan orang lain?"
Saat anak memilih kebaikan bukan karena takut dihukum atau berharap hadiah, melainkan karena memahami nilai sejatinya, di situlah pendidikan menemukan makna yang sesungguhnya.
Cara Menerapkan Kindness Strategy dalam Kehidupan Sehari-hari
Menerapkan kindness strategy bukan berarti membiarkan anak bertindak sesuka hati, melainkan membantu mereka memahami mengapa sebuah aturan dibuat dan mengapa kebaikan itu penting. Saat anak mengerti alasan di balik suatu peraturan---misalnya, "Kita membereskan mainan setelah bermain agar rumah tetap nyaman dan kita bisa menemukannya lagi nanti"---mereka akan lebih mudah menerimanya sebagai kebiasaan, bukan sekadar kewajiban.
Selain itu, penting bagi kita untuk 'menghargai usaha, bukan hanya hasil akhir.' Jika anak hanya dipuji ketika mendapat nilai bagus, mereka mungkin berpikir bahwa yang dihargai hanyalah keberhasilan, bukan kerja kerasnya. Padahal, yang jauh lebih berharga adalah semangat belajar dan ketekunan. Mengapresiasi proses---misalnya dengan mengatakan, "Ibu senang melihat kamu berusaha keras mengerjakan tugas ini"---membantu anak belajar menghargai dirinya sendiri, bukan bergantung pada validasi eksternal.
Lingkungan juga berperan besar dalam membentuk karakter anak. Saat rumah dan sekolah dipenuhi kasih sayang dan penghargaan yang tulus, anak merasa aman untuk bertumbuh tanpa tekanan hadiah atau ancaman. Mereka belajar bahwa berbuat baik bukan sesuatu yang "dibayar," melainkan sesuatu yang memang layak dilakukan.
Lebih dari itu, mengajak anak berdialog dan berefleksi juga penting. Daripada hanya memberi perintah, kita bisa bertanya, "Menurutmu, apa yang bisa kita lakukan agar kamar tetap rapi?" atau "Bagaimana perasaanmu setelah membantu teman tadi?" Pertanyaan-pertanyaan semacam ini membuka ruang bagi anak untuk berpikir, memahami, dan menemukan jawabannya sendiri.
Dengan langkah-langkah kecil ini, kita tidak hanya mendisiplinkan anak, tetapi juga menuntun mereka menemukan nilai-nilai kehidupan yang akan mereka bawa hingga dewasa.
Pada akhirnya, tujuan mendidik bukan sekadar menjadikan anak patuh terhadap aturan, tetapi menanamkan nilai-nilai luhur yang akan mereka bawa sepanjang hidup. Kita ingin mereka tumbuh bukan karena terbiasa diberi hadiah atau takut hukuman, tetapi sebagai pribadi yang bertanggung jawab, berempati, dan mampu membuat keputusan baik dengan kesadaran penuh. Perjalanan ini tentu tidak mudah, tetapi juga bukan sesuatu yang mustahil. Sebagai orang tua dan pendidik, kita dapat bertransformasi---dari pendekatan disiplin berbasis ketakutan menjadi pendidikan yang berakar pada cinta dan kesadaran. Ketika anak merasa didukung, dipahami, dan dihargai, mereka lebih mudah memahami makna aturan dan memilih berbuat baik karena kesadaran, bukan keterpaksaan. Pada akhirnya, kita perlu bertanya: Apa warisan terbaik yang ingin kita tinggalkan bagi anak-anak kita? Jika yang kita tanam adalah pemahaman, kasih sayang, dan nilai kebaikan, maka itu akan terus tumbuh dalam diri mereka, bahkan saat kita tak lagi di sisi mereka. (*)
Merauke, 6 Maret 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI