Mohon tunggu...
Agustinus Hary
Agustinus Hary Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Bernyanyi dan mendengarkan musik Jogging Menikmati hidup dengan senyuman Hidup merdeka

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sikap Narsisme di instagram Sebagai Ajang Pengakuan Sosial akan Imaji Diri yang 'Palsu'

14 Januari 2023   18:08 Diperbarui: 14 Januari 2023   18:14 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan teknologi membawa setiap orang masuk dalam arus kemajuannya seiring waktu. Hampir semua populasi dunia menggunakan teknologi modern, salah satunya adalah media sosial. Berdasarkan data dari We are Social, dari total 277 juta penduduk Indonesia, 191 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna aktif media sosial per Januari 2022. Jumlah tersebut meningkat 12,35% dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 170 Juta penduduk. Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan media sosial. Mulai dari mencari berita terkini, hal-hal favorit tentang hobi ataupun musik terbaru, gosip tentang artis terkenal dan mengikuti aktivitas idola, dan lain-lain. Melalui media sosial, semua hal dan semua orang di dunia saling terkoneksi satu sama lain sehingga perkembangan berita terkini menjadi leih cepat diterima oleh penduduk. Artinya, fungsi utama terciptanya media sosial dalam teknologi modern ialah untuk mengomunikasikan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki seseorang kepada yang lain dengan mudah.

Dari sekian banyak jumlah pengguna media sosial, Instagram menjadi salah satu media sosial yang diminati, baik remaja hingga dewasa. Segala hal tentang artis, pejabat pemerintah, sahabat; baik foto, aktivitas tersedia oleh Instagram. Instagram juga menyediakan fitur guna mendukung kualitas dari foto yang diunggah, seperti caption, penanda lokasi, boomerang, filter foto, reels (video singkat), hingga Instagaram Live. Semua fasilitas tersebut menunjang penggunanya untuk menunjukkan citra diri yang lebih baik dan lebih 'enak dipandang.' Namun, berangkat dari kecanggihan Instagram, banyak orang yang tergiur untuk menggunakan fasilitas yang disediakan agar mengubah citra diri setiap remaja. Tidak hanya mengubah citra diri, namun juga menjadi ajang memamerkan diri dengan, contohnya, memakai barang-barang ternama, liburan ke luar negeri. Alhasil, fungsi utama media sosial, terutama Instagram, mengalami pergeseran fungsi, yakni sebagai ajang pemburuan 'like' dan pengakuan sosial bahwa dirinya disukai dan dianggap ada. Semua pengguna media sosial menjadi berlomba-lomba untuk sering mengunggah foto diri terbaik hanya agar disukai oleh sesama pengguna media sosial. Pergeseran fungsi tersebut berdampak pada sikap narsis di Instagram untuk mendapat pengakuan sosial serta menciptakan citra diri buatan.

Salah satu cara yang digunakan oleh seseorang untuk menunjukkan pamor atau citra dirinya, dalam konteks sikap narsistik, adalah dengan mengunggah foto tentang dirinya, entah sedang di mana dan melakukan apa, atau hanya sekadar mengunggah foto dirinya sendiri; dan Instagram adalah media yang tepat untuk melakukan hal itu. Instagram dirancang khusus agar setiap pengguna dapat membagikan foto dan video mereka, memberi komentar pada foto atau video serta memberi 'like' pada foto atau video yang disukai. Bila kita melihat tampilan beranda Instagram ataupun kolom pencarian, maka yang akan muncul ialah foto ataupun video. Porsi dari caption foto dipersingkat mungkin sehingga tampilan visual mendominasi penglihatan mata setiap pengguna.

Pada dasarnya, narsisme merupakan sebuah sikap seseorang yang merasa dirinya sangat berharga daripada yang lain sehingga mengikis bahkan meniadakan empati pada sesamanya. Artinya, narsisme adalah sikap cinta pada diri sendiri secara berlebih, seperti dengan menyombongkan diri, egoisme pribadi yang menonjol serta angkuh. Akan tetapi, sikap narsisme tidak berhenti sampai pendapat dan pandangan setiap pribadi akan dirinya. Keunggulan dan kehebatan seseorang itu perlu dilihat dan diakui oleh orang lain sehingga ia merasa dirinya memiliki status sosial yang jelas dalam sebuah lingkungan sosial, dan dipandang sebagai seseorang yang berbeda dari khalayak umum. Melalui Instagram, yang adalah salah satu buah dari teknologi modern, setiap orang dapat memperoleh pengakuan dan rasa kagum dari banyak orang akan dirinya sehingga kepuasan diri dan harga diri mereka meningkat.

Perasaan diakui menjadi salah satu aspek dalam pengakuan sosial. Pengakuan sosial mengibaratkan bahwa 'aku diterima oleh masyarakat'; 'aku dipandang sebagai orang baik' dan 'aku dapat hidup dengan bahagia.' Menjadi jelas bahwa pengakuan sosial menegaskan keber-ada-an atau eksistensi seseorang sebagai manusia. Pada taraf kehidupan nyata, dalam arti ketika terjun dalam dinamika sosial sebuah kelompok masyarakat, pengakuan sosial yang pertama ialah ketika seseorang memberi respon atas tindakan kita. Contoh, ketika kita menyapa tetangga, tetangga kita pun menyapa kembali; ketika sedang berbincang-bincang, respon membalas pernyataan atau menjawab pertanyaan merupakan wujud pengakuan secara tidak langsung. Bila dikaitkan dengan Media sosial, terutama Instagram, 'like' menjadi simbol bahwa pengguna tersebut menyukai diri  kita dan menganggap kita ada. Maka, pengakuan sosial merupakan kebutuhan yang menonjol guna meningkatkan kredibilitas seseorang. 

Akan tetapi, eksistensi seseorang dalam media sosial tidak nyata sebagaimana dirinya nyata dalam hidup sosial. Mengutip dari perkataan F. Budi Hardiman, pengguna media sosial (homo digitalis) memastikan keberadaannya lewat jari yang meng-klik. Artinya, dirinya hidup dalam dimensi digital yang tidak nyata. Disebut tidak nyata karena eksistensi manusia sesungguhnya dinyatakan nyata ketika manusia mengalami kematian. Mengutip dari Heiddeger, manusia berada menuju akhir dan akan mengalami keberakhiran. Berbeda dengan manusia digital yang tidak memiliki akhir. Eksistensi seseorang dalam media sosial akan tetap, biarpun penggunanya telah meninggal. Sebagai contoh orang yang telah meninggal dunia, namun akun Instagramnya tetap ada, dan masih dapat digunakan bila dikehendaki oleh orang lain. Dunia dalam media sosial tidak memiliki dimensi waktu, dan kematian fisik tidak akan terjadi. Kehilangan sinyal, habis pulsa dapat menjadi sebuah kematian, namun hanya bersifat sementara. Bahkan bila akun Instagram tersebut dihapus, data tentang akun tersebut masih tersimpan. Maka, seseorang kehilangan eksistensi dirinya ketika terjun dan tenggelam dalam media sosial. 

Perlu diingat bahwa zaman ini dapat dikatakan sebagai zaman post-truth, di mana kebenaran menjadi tercampur aduk dengan kebohongan; nampak sama namun sesungguhnya berbeda. Post-truth dapat pula digambarkan sebagai kondisi di mana kebenaran tidak penting. Semua yang ada didasarkan bukan pada kebenaran, tetapi kebutuhan pasar dan keuntungan parsial. Segala kebenaran yang tidak membawa keuntungan dimanipulasi dengan unsur-unsur kebohongan sehingga menjadikannya kebenaran yang'benar.' Sebagian kecil dari pernyataan tersebut tampak dalam media sosial, khususnya Instagram. Fitur filter wajah membuat citra diri menjadi bukan dirinya lagi. Hal itu mengandaikan orang mulai takut menghadapi wajah aslinya secara langsung, dan memilih untuk me-remake sesuai keinginan. Dengan kecanggihan yang demikian, kebenaran tidak memiiki arti sama sekali. Kebenaran dimonopoli oleh orang yang memiliki otoritas atas kebenaran itu sendiri.  

Batasan antara kebenaran dan kebohongan menjadi tidak jelas. Realtias menjadi bersengkarut; tidak jelas antara simulasi atau kenyataan. Dalam pandangan Jean Baudrillard, kondisi tersebut dinamakan hiperrealitas, yakni kondisi seseorang yang menganggap apa yang dilihat berdasarkan simulasi adalah sebuah kesadaran yang sesungguhnya; yang dianggap benar. Dalam konteks media sosial, kebenaran dan ke-apa-an seseorang didasarkan pada manipulasi, editan, tulisan atau simbol yang melekat pada seseorang, bukan ke-apa-an atau ke-ada-an orang itu sendiri. Contoh, ketika sebuah swafoto seseorang diunggah dengan berbagai filter dan editan agar lebih indah, itu bukan gambaran asli dari orang yang berswafoto. Manusia yang merasa menguasai teknologi justru disetir oleh teknologi. Akibatnya, Masyarakat terpenjara di suatu dunia yang di manipulasi, dunia yang tidak pernah berhenti berlari dan berinovasi, serta tidak tidak pernah mengurangi tempo konsumsinya.

Identitas setiap orang menjadi kabur; terubahkan oleh kecanggihan media sosial dan menjadikannya citra simulasi. Seseorang berharap menjadi seorang yang good-looking oleh karena berbagai iklan produk kecantikan. Walaupun demikian, ia mendesain dirinya sendiri berdasarkan gambaran 'ideal' yang tampil dalam berbagai iklan, yang menjadikannya parameter dalam sebuah kebenaran. Hal itu dapat disebut sebagai merawat diri, dengan mempercantik diri, atau justru memperlakukan diri sebagai 'sebuah', 'sesuatu'; bukan sebagai 'seorang'. Setiap pandangan itu jelas berbeda satu sama lain. Bila seseorang hanya melihat diri sebagai 'sesuatu', maka sesungguhnya fisiknya tidak jauh berbeda dengan benda mati di sekitarnya yang dapat diperlakukan sebebasnya dan diubah sesukanya. Namun, bila setiap orang memandang diri sebagai 'seorang', maka ia akan menerima diri apa adanya, dan mengembangkan dirinya tanpa melewati batasan.

Dalam Katekismus Gereja Katolik no. 357, dijelaskan bahwa manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu, melainkan seorang. Ia mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain oleh karena ia diciptakan menurut citra Allah. Artinya, martabat manusia membuat tubuh fisiknya pun juga menjadi berharga karena merupakan satu-kesatuan antara tubuh, dan jiwa. Sampai pada penjelasan ini, menjadi jelas bahwa citra diri yang palsu, bahkan dalam media sosial, adalah bentuk penyelewengan atau penolakan terhadap martabat sebagai seorang manusia.

Setiap pengguna Instagram perlu menyadari bahwa dirinya adalah unik sebagaimana dirinya nyata. Tanpa mendesain ulang dirinya dalam media sosial, tidak akan mengubah fakta bahwa dirinya adalah dirinya otentik. Menyadari bahwa setiap orang diciptakan menurut citra Allah, maka seluruh dirinya, tubuh, dan jiwa adalah baik adanya sejak ia diciptakan. Perlunya pengendalian dalam kesadaran dan manajemen waktu dalam penggunaannya sehingga smua orang tidak tersedot ke dalam dimensi digital. Hal itu juga berguna untuk mengikis sikap narsisme yang marak di dunia modern. Pengakuan sosial akan lebih bermakna dan bernilai bila semua orang menghadirkan tubuh dan dirinya di sini dan saat ini. Dengan terjun langsung dalam lingkungan sosial, keberadaannya menjadi lebih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun