Mohon tunggu...
Agustin Tri Setiyani
Agustin Tri Setiyani Mohon Tunggu... Lainnya - Saya Resah, Saya Menulis

Skeptis itu perlu, agar kita bisa menguji apakah sesuatu sedang berjalan dengan benar atau tidak. Jika sudah benar bagaimana? Yasudah, dinikmati saja. ^-^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Optimisme Masa-masa Corona, Mengenal Konsep "Jauh di Mata, Dekat dari Rumah"

10 April 2020   10:36 Diperbarui: 10 April 2020   10:45 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi ini mata saya terbuka dan mendapati bermacam efek domino dari pandemi Covid-19. Kejadiannya tak jauh dari tempat saya tinggal. Ratusan pekerja--tetap maupun honorer, yang masih muda maupun yang sudah senior tengah berurai air mata setelah mendapat kabar bahwa mereka serempak dirumahkan. Setelah sebelumnya perhatian saya hanya tertuju pada driver ojol yang sering kongko di depan tempat tinggal saya, main game sembari berbagi cerita bahwa hari ini orederan sedang sepi. Khayal saya tak beranjak dari berpuluh orang merana lain di luar sana yang juga terimbas langsung bukan hanya dari segi kesehatan, tetapi juga dari segi finansial.

Hashtag DirumahAja, bak satu cahaya dalam ruang remang. Tentu bagi beberapa orang, mereka menemukan kenikmatan baru berkumpul bersama keluarga. Kisah kocak soal meeting dengan kemeja rapih namun bercelana pendek dan belum mandi, atau tiba-tiba emak teriak dari dapur meminta kita mengangkut jemuran gerara hujan padahal kita sedang presentasi, menjadi bumbu lucu yang membuat kegiatan di rumah kita menjadi lebih terang dan berwarna. 

Hashtag DirumahAja, juga menjadi elegi bagi beberapa orang yang tak tahu harus melakukan apa agar perut tak lagi keroncongan. Kisah Driver Taksi Bluebird yang sempat viral lantaran diketahui ia bergegas pulang untuk memberikan uang hasil orderan pertamanya agar anak dan istrinya bisa segera makan, tentu bukan sekedar postingan demi mendapatkan like belaka.

Kondisi itu tentu tak bisa hanya dilihat sebagai kondisi bahagia dan sedih semata, ada gradasi di antara keduanya. Mungkin saat ini ada yang masih nyaman menikmati waktu-waktu di rumah aja, apa-apa dibeli demi membuat badan nyaman berdiam diri, tetapi seberapa lama kenyamanan itu akan terus berlangsung? 

Bulan pertama, semua kebutuhan pokok masih terpenuhi dan cicilan rumah serta kendaraan masih terbayar lancer, bahkan menambahkan berlangganan aplikasi ini dan itu supaya bisa betah di rumah. Bulan selanjutnya, kebutuhan pokok mulai dikurangi demi cicilan dan langganan. Bulan selanjutnya langganan ditiadakan, tak apa menonton film lama. Bulan selanjutnya?

Prediksi masa pandemi dari pemerintah akan berhenti di bulan Juli. Tetapi, jika semua orang abaikan aturan: tetap mudik ke kampung halaman dan menambah intensitas bertemu dengan banyak orang yang malah memperlancar persebaran virus, apakah masih yakin pandemi akan berhenti hanya dalam tiga bulan dari sekarang?

Saat-saat seperti ini, bagi penganut sistem pemisahan rekening aktif dan pasif, tentu sedang bernafas lega, seraya berterima kasih pada diri sendiri karena selalu menyisakan pendapatan untuk dana cadangan di luar dana yang digunakan sebagai biaya operasional pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 

Tetapi, seberapa lama dana cadangan itu akan terkuras? Apakah kemudian akan terisi lagi oleh gaji? Apakah masih mendapatkan gaji yang utuh? Dipotong separo? Atau bahkan tidak bagaimana yang tidak ada pendapatan sama sekali? Tidak ada pendapatan yang bagaimana, apakah hanya sementara selama pandemi saja, atau jika membaca kondisi perusahaan, lama-lama jadi harap-harap cemas, jangan-jangan perusahaan tak kuat berdiri di tengah-tengah masa terjangan pandemi.

Mari kita renungkan sejenak. Nasi sudah menjadi bubur, tinggal bagaimana bubur itu kita gunakan supaya tetap enak dimakan. Apakah diracik menjadi Bubur Ayam, atau sekedar ditambah gula jawa menjadi Bubur Gula Jawa. Maksudnya, akses kita terhadap dana cadangan telah menjadi buah dari habbit pengelolaan keuangan yang telah kita lakukan minimal tiga bulan sebelum keadaan ini terjadi. 

Bukan hanya kita yang terdampak, tapi semua orang, bukan hanya di Jakarta, bukan hanya di Indonesia, bahkan seluruh dunia. Krisis keuangan global, rupiah yang terus melemah, IHSG yang terjun curam, bisnis yang melesu, THR yang terancam tak cair, dan berbagai dampak yang dirasakan tak hanya organ perusahaan dengan berbagai skala, melainkan hingga satuan individu.

Kini, sebulan sudah kita tempuh belajar dan bekerja dari rumah. Meeting dari rumah, belanja dari rumah, makan di rumah, dan berkarya di rumah. Ya, Rumah. Tempat yang selama ini bagi saya yang hanyalah karyawan biasa, merupakan sekedar tempat merebahkan badan di malam hari dan bersiap ke kantor keesokan harinya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun