Alhasil, tak mengherankan kalau seorang ibu anggota dewan memprotes keras kehadiran burger di ompreng MBG. Mungkin beliau syok. Jangankan beliau. Anak saya, si GenZy penyuka burger, juga tak habis pikir.Â
Komentar anak saya, "Kok burger? Kenapa pengganti nasinya burger? 'Kan burger identik dengan junkfood?"
Nah, itu! Sementara MBG bukan sekadar program makan gratisan melainkan lebih ditekankan pada "Makan Bergizi"-nya. Jadi, kenapa mesti ada burger yang ikutan eksis di ompreng MBG? Kiranya hal ini dapat menjadi koreksi bagi penyedia MBG mana pun.
Namun, ada sesuatu yang perlu dicatat dari eksistensi burger dalam ompreng MBG keponakan saya. Jika dicermati baik-baik, tampaknya pihak penyedia telah berupaya meminimalkan kadar ke-junkfood-annya.Â
Dalam ompreng berisi burger itu, ada tiga macam sayuran dan tiga buah strawberry. Pun, sekerat ayam fillet goreng yang dikasih topping mayonaise. Dikompleti sari kacang hijau pabrikan.
Hasilnya? Tetap saja menimbulkan pro dan kontra.Â
Saya paham. Maksud penyedia MBG adalah memberikan pilihan menu variatif supaya anak-anak tidak bosan. Hanya saja, pilihannya itu justru riskan mengundang masalah. Sebaiknya penyedia MBG bisa berpikir lebih kreatif dan cerdas dalam menyediakan menu.
Ngomong-ngomong, ada satu lagi hal yang terasa kurang sreg di hati. Yakni manakala saya mencermati menu MBG saat Ramadan, yang tempo hari diterima keponakan saya. Silakan Anda juga mencermatinya pada kolase foto berikut.
Nah. Apa yang Anda pikirkan demi melihat kolase foto di atas? Saya yakin bahwa Anda pasti familiar sekali dengan merk-merk yang terpampang nyata di kemasan makanan dan minuman yang ada dalam foto.
Apa artinya? Artinya tujuan Program MBG untuk menggerakkan ekonomi masyarakat tidak tercapai. Sesuai dengan kondisinya, menu MBG saat Ramadan boleh saja diganti sumber karbohidratnya dengan kue dan roti. Akan tetapi, bukan kue dan roti produksi pabrik besar.Â