"Inilah nenek moyang KRL Jogja-Solo yang jadi idola kalian saat akhir pekan. Iya 'kan? Kalian suka banget desak-desakan untuk naik KRL ke Solo? Jangan-jangan peserta tur ini juga ada yang dari Solo? Berangkatnya tadi naik KRL dan turun di Stasiun Lempuyangan sini? Ada enggak? Hehe ... Nah. Ini KRD Kuda Putih. Sebelum ada Prameks, rute Jogja-Solo atau Jogja-Kutoarjo dilayani KRD ini."
"KRD itu apa?" Seseorang bertanya.
"Kereta Rel Diesel," jawab si pemandu tur sejarah. Dia pun melanjutkan penjelasan, "Jadi begini. KRD Â Kuda Putih ini beroperasi pada tahun 1960 sampai 1980. Dua puluhan tahun saja. Cukup singkat. Setelahnya diganti dengan berbagai KRD lain buatan Jepang. Sebelum akhirnya muncul Prameks pada tahun 1994."
"Mengapa Kuda Putih berhenti beroperasi?" Tanya seseorang yang lainnya.
"Sebetulnya lebih ke masalah teknis, ya. KRD Kuda Putih 'kan buatan Jerman. Di sini suku cadangnya sulit didapat kalau ada yang perlu diganti. Akhirnya ya gitu, deh. Kuda Putih lama-lama sering mogok sebab kurang perawatan. Jadinya pensiun dini."
"Sayang banget, ya? Jadinya mangkrak begini," celetuk seseorang.
"Iya. Dijadikan monumen seperti ini. Apa boleh buat? Lagi pula, Kuda Putih ini menyimpan persoalan juga. Desainnya memang keren pada zamannya. Akan tetapi, jarak tempuh lumayan lama. Jogja-Solo 2 jam," kata pemandu. "Bandingkan dengan sekarang. Sekarang KRL Jogja-Solo cuma satu jam."
"Mas Pemandu. KRD Kuda Putih ini bentuknya mirip bus, ya?"
"Iya, betul. Makanya ada yang menyebutnya rail bus. O, ya. Kuda Putih ini tidak ditarik lokomotif. Mesin dieselnya sudah menyatu demgan gerbong penumpang. Ketika akhirnya mesin rusak dan tidak bisa diperbaiki, sempat juga dioperasikan dengan ditarik lokomotif."
"Kok disebut Kuda Putih kenapa, Mas?" Seseorang di belakang saya bertanya.