Â
"Keponakanku enggak kularang lho, Mbak, ketika ngambil buku cerita yang ilustrasi sampulnya saja bocah berjilbab. Biarin sajalah dia membaca apa pun. 'Kan malah bisa memperkaya wawasannya."
Pada detik pertama saya tak paham dengan perkataan kawan saya itu. Memangnya kenapa kalau buku cerita ada gambar bocah berjilbabnya? Bukankah sekarang banyak buku anak-anak yang begitu? Tak ada sesuatu yang istimewa, deh. Biasa saja.Â
Namun, pada detik berikutnya saya teringat sesuatu. Kawan saya itu beragama Katolik. Demikian pula keponakannya yang masih SD kelas rendah.
Maka seketika saya tersadarkan bahwa perkataan kawan tersebut adalah "sesuatu". Saya menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan-pelan sebelum memberikan tanggapan.
"Hmm. Apa ada orang tua kawan keponakanmu yang melarangnya? Maksudku, karena buku ceritanya ada ilustrasi anak berjilbab, sementara yang mau baca bukan Islam, jadi dilarang?"
"Iya. Padahal, isi ceritanya tidak selalu tentang Islam banget yang khusus. Nilai-nilai yang disampaikan pun nilai-nilai kebaikan universal. Sebaliknya, aku pernah ketemu orang tua muslim yang hanya mengizinkan anaknya membaca buku keislaman. Enggak boleh membaca buku cerita umum. Baca Donald Bebek saja dilarang, lho."
Saya tercenung mendengar penjelasannya. Terus terang saja, saya tak pernah kepikiran tentang hal demikian. Selama ini saya membiarkan anak saya membaca buku apa saja asalkan sesuai usianya. Sebagaimana dahulu saya diberi kebebasan yang sama oleh orang tua.
"Wah? Bikin kepo. Bagaimana halnya dengan orang tua dari agama-agama lain yang ada di Indonesia, ya?" Gumam saya.
"Entahlah. Mbak. Semoga modelan yang kita bahas ini segelintir saja jumlahnya. Bahaya juga 'kan cara berpikirnya?"
Saya sependapat dengan kawan saya. Bahaya. Terlepas dari persoalan di atas, kadar bahaya pun masih ditambah dengan adanya orang tua yang hanya membolehkan anaknya membaca buku pelajaran. Saya bahkan punya pengalaman diprotes sesama wali murid dalam hal ini.