Mohon tunggu...
Agustina aryanti
Agustina aryanti Mohon Tunggu... INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS MUHAMMADIYAH GROBOGAN

Mahasiswa aktif semester 7 di Instiitut Teknologi Dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Capek Jadi Hebat terus: Gen Z, FOMO, dan Budaya Hustle yang Bikin Lelah

16 Oktober 2025   01:02 Diperbarui: 16 Oktober 2025   01:02 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Era Serba Instan, Tapi Kok Rasanya Lambat?

Kita hidup di zaman yang segalanya bisa didapat dalam sekali klik makanan datang dalam 10 menit, info viral dalam 5 detik, dan tren baru muncul tiap hari. Tapi anehnya, di balik kecepatan itu, banyak anak muda justru ngerasa stuck. Serba cepat, tapi kepala penuh tekanan.

Generasi Z tumbuh di tengah notifikasi, algoritma, dan standar kesuksesan versi internet. Semua berlomba jadi yang paling "berhasil" di umur muda. Hasilnya? Kita jadi generasi yang paling terhubung secara digital, tapi paling tertekan secara mental.

 FOMO (Fear of Missing Out): Takut Ketinggalan, Tapi Nggak Tahu Mau Ke Mana

FOMO itu kayak rasa takut kalau hidup kita nggak semenarik orang lain. Lihat teman jalan-jalan, kita langsung ngerasa hidup sendiri membosankan. Lihat orang lain dapet kerjaan keren, langsung overthinking soal masa depan.
Padahal, seperti kata Psychology Today (2024), FOMO bukan sekadar iri  tapi hasil dari dopamine loop yang diciptakan media sosial. Otak kita terus cari validasi dari like, view, dan komentar. Ironisnya, makin sering kita nge-scroll, makin dalam rasa kurangnya.

"Kita nggak benar-benar pengen jadi orang lain. Kita cuma takut nggak dianggap berhasil di mata dunia."

Overthinking: Ketika Pikiran Nggak Pernah Istirahat

Overthinking bukan cuma kebiasaan mikir berlebihan, tapi bentuk kelelahan mental karena terus ngebandingin diri sama ekspektasi sosial.
Gen Z sering kali dibesarkan dengan tekanan "harus sukses sebelum umur 25", "harus punya personal branding", "harus produktif tiap hari".
Akhirnya, banyak yang merasa gagal bahkan sebelum mulai.
Menurut WHO (2024), tingkat kecemasan pada remaja dan mahasiswa meningkat 32% dalam 5 tahun terakhir dan media sosial jadi salah satu pemicu terbesarnya.

Overthinking bikin kita sibuk mikir hasil, bukan proses. Sibuk nyari validasi, bukan makna. Dan kalau dipikir-pikir, bukankah kita lebih sering takut gagal di mata orang lain daripada gagal di mata diri sendiri?

Hustle Culture: Romantisasi Kelelahan

Nah, ini dia: hustle culture budaya kerja keras tanpa jeda yang diglorifikasi.
Dulu, kerja keras identik dengan dedikasi. Sekarang, ia jadi simbol gengsi. "Sleep is for the weak" katanya. "Kalau kamu tidur 8 jam, berarti kamu kalah saing."
Padahal, Hustle Culture ini sebenarnya jebakan mental. Ia membuat orang bangga karena sibuk, bukan karena berkembang.
Menurut Harvard Business Review (2023), budaya hustle bikin banyak profesional muda mengalami "chronic burnout"  kelelahan emosional yang membuat hidup kehilangan makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun