Mohon tunggu...
Agustijanto Indrajaya
Agustijanto Indrajaya Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog

tinggi 160 cm

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arkeologi di Nusa Penida

17 Mei 2017   09:44 Diperbarui: 17 Mei 2017   10:28 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pulau Nusa Penida terletak di sebelah tenggara Pulau Bali yang dipisahkan oleh Selat Badung. Secara administrasi termasuk dalam Kabupaten Klungkung, provinsi Bali. Jika dilihat secara astronomis keletakannya diantara 08º 40’ Lintang selatan sampai 08º 50’ Lintang Selatan dan 115 º 29’ Bujur Timur sampai 115º 38’ Buju Timur. Ibukota kecamatan Nusa Penida terletak di sisi selatan tepatnya di Sampalan. Untuk pencapaian lokasi penelitian dari Ibukota provinsi (Denpasar) dapat dilakukan dengan cara melakukan perjalanan darat ke pelabuhan penyeberangan yang berada di Kabupaten Klungkung. Selanjutnya untuk perjalanan laut dapat dilakukan dari beberapa pelabuhan yang ada, baik itu pelabuhan tradisional maupun permanen. Salah satu diantaranya adalah melalui pelabuhan tradisional Tribuana di Kusamba dengan menggunakan perahu motor dan selanjutnya berlabuh di pelabuhan Mentigi di Sampalan, Nusa Penida. Perjalanan laut ini membutuhkan waktu kira-kira 1,5 jam.  Atau melalui pelabuhan Padang Bay yang melayani jalur Bali-Nusa Penida satu kali sehari.

          Di dekat pulau ini terdapat juga pulau-pulau kecil lainnya yaitu Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Nusa Lembongan.  Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan hanya dipisahkan oleh selat yang sempit dan dangkal  yang pada waktu air surut dapat diseberangi dengan berjalan kaki. Sehingga kadang kala Pulau Ceningan dan Pulau Lembongan diangap sebagai satu gugusan.  Sedangkan Nusa Penida dan gugusan Pulau Ceningan dan Lembongan dipisahkan oleh selat yang sempit tetapi cukup dalam dengan arus pasang yang deras menuju lautan lepas.  Adapun batas-batas geografi Nusa Penida adalah di sebelah utara selat kusamba, sebelah timur Selat Lombok, sebelah selatan lautan Indonesia dan sebelah barat Selat Sanur. 

          Di antara ketiga gugusan pulau tersebut maka Pulau Nusa Penida merupakan pulau terbesar dengan luas 191,4625 km2,  Pulau Ceningan  2,6875 km2, Pulau Lembongan 8,6875 km2.  Sehingga luas seluruhnya adalah 202,8375 km2. Luas seluruh kepulauan Nusa Penida sama dengan dua kali luas dengan Kabupaten Klungkung saat ini.  Untuk mencapai pulau Nusa Penida dapat ditempuh melalui daerah  Sanur, Kusamba dan Padang Bay. 

Pulau Nusa Penida sebagai salah satu pulau yang berada di wilayah Provinsi Bali merupakan daerah perbukitan kars. Satuan morfologinya merupakan satuan morfologi perbukitan kars menggelombang dengan puncak tertinggi mencapai 528 meter (bukit Mundi). Masih terlihat tanda-tanda bahwa di sekitar puncak bukit dahulu merupakan kawasan hutan, dimana  di sekitar kawasan Pura Sahab dan Puncak Bukit Mundi masih menyisakan areal hutan.

Di lingkungan kars seperti ini umumnya terbentuk goa-goa dan ceruk alam berukuran besar.  Nusa Penida secara umum merupakan daerah yang kering dengan tekstur tanah berkapur.  Bagian pantai utara dan timur seperti daerah Desa Suwana, Batununggal, Kutampi, Ped terdapat dataran yang mempunyai lapisan tanah yang cukup tebal sehingga tampak sebagai bagian yang subur.  Sampai awal abad ke-20, daerah pantai utara dan timur masih menyisakan rawa-rawa di sepanjang pantai Desa Ped, Toyapakeh dan Penida.  Saat ini daerah tersebut telah berubah menjadi daerah dataran rendah yang ditanami oleh pohon kelapa.  Ada beberapa mata air yang debit airnya cukup deras namun letaknya yang sulit dicapai karena jurang-jurang yang dalam dan dekat dengan pantai yang sempit  dan curam seperti di Desa Penida dan Desa Batumandeg.

                                                                                                    Peta 1. Pulau Nisa Penida dan sebaran tinggalan arkeologinya

  Berdasarkan hasil survei kependudukan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1920-1930-an, jumlah penduduk Nusa Penida sekitar 26.000 jiwa terdiri dari orang orang Bali, orang Nusa (Bali Aga), Jawa, China dan Timur Tengah.  Orang-orang Bali di pulau ini terbagi menjadi orang Bali pendatang dan orang Bali yang menganggap dirinya sudah menjadi penduduk asli.  Golongan yang kedua inilah yang kemudian menyebut dirinya sebagai orang Nusa.  Orang Bali pendatang pada sekitar abad ke-19 adalah mereka yang kelompok-kelompok imigan yang dibuang ke Nusa Penida karena alasan politis, sebagai contoh pada tahun 1890 pernah terjadi pembuangan anak Agung Sangsi disertai dengan 20 orang pengiringnya dikirim ke Nusa Lembongan. 

          Masyarakat Nusa Penida mayoritas beragama Hindu dan stratigrafi  sosial di dalam masyarakat Nusa Penida juga mengikuti sistem stratigrafi sosial di Bali dimana masyarakat terbagi dalam beberapa golongan, namun di Nusa Penida tidak ada kasta Brahmana yang menetap.  Sebagai kelompok teratas adalah kelompok ksatria terutama ksatria predewa[1] dengan nama I dewa bagi laki laki dan Desak bagi kaum perempuan.    Di bawah golongan ksatria terdapat golongan waisya dan Kawula yang sama sama menempati jabatan yang cukup penting seperti perbekel dan kelian .  Golongan ini kini dikenal sebagai keluarga Pasek, Bandesa, Pande.  Ada lagi kelompok yang mempunyai hubungan dengan para ksatria dan waisya yang sekarang lebih dikenal sebagai keturunan kubuon tubuh, pacung atau pulasari.  Mereka menempati lapisan menengah di dalam pelapisan sosial masyararakat Nusa Penida.  Golongan paling rendah adalah orang Nusa Penida yang disamakan dengan golongan Bali Aga.  Golongan ini tersebar di daerah pedalaman seperti di Desa Tubuan, Dungkap, Bingin, Buluh dan Belalu.  Ada juga yang tinggal di daerah pesisir seperti di desa Kutapang, Sentalkawan dan Lembongan. 

          Data tertulis paling tua menyebutkan bahwa pulau Nusa Penida pernah menjadi bagian dari kerajaan Klungkung.  Kerajaan Klungkung adalah pengganti dari kerajaan Gelgel yang jatuh sekitar tahun 1704 M.  Raja pertama kerajaan Klungkung adalah Dewa Agung Jambe yang bergelar Dewa Agung Putra.  Sejak itu gelar Dewa Agung menjadi gelar bagi raja-raja Kerajaan Klungkung sampai jatuh ke tangan Kolonial Belanda.  Tahun 1929, Belanda mengeluarkan keputusan yang menetapkan Cokorda Oka Geg sebagai Zelbetuur Klungkung yang terdiri dari 4 distrik salah satunya kecamatan Nusa Penida.

          Di bawah pengaruh Belanda, memang kekuasaan kerajaan Klungkung kian menyempit namun masa Dewa Agung inilah aspek keagamaan berkembang lebih baik ditandai dengan pembangunan pura-pura di seluruh wilayah kekuasaannya.  Demikian halnya dengan yang terjadi di Nusa Penida.  Salah satu temuan lempeng prasasti tembaga menyebut tentang pengeling-ngeling tentang kedudukan pura sanggah  mrajan (pura maos) termasuk batas-batas wilayahnya.

          Selembar prasasti tembaga lainnya ditemukan dari banjar Baledan,desa Klumpu masing-masing lempeng bergores 7 baris tulisan dengan gaya aksara Bali pertengahan.  Dikeluarkan oleh Cicili putih (berkulit putih) bertahta di kerajaan Klungkung.  Isi prasasti menyangkut pemberian hak dan kekuasaan pada Ki Pu Hiyun (Kyun) atas beberapa daerah atau desa di Baledan Rata dan sekitarnya dan dapat diwariskan secara turun temurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun