Konsep Brahman yang memiliki dua sifat ini kemudian diikuti di dalam konsep Buddha. Diyakini bahwa Buddha juga memiliki dua eksistensi: rūpakaya atau tubuh fisik Buddha dan dharmakāya atau intisari tubuh, yang murni dan kekal. Rūpakaya pada Sakyamuni akan rusak dan hilang setelah eksistensinya di dunia berakhir tetapi dharmakāya – esensi dirinya- selalu ada, menjadi tidak terpengaruh waktu atau apapun di dunia. Dengan kata lain rūpakaya dari Buddha adalah tubuh kasar dan dharmakāya adalah ruh yang tak terbatas sangat esensi dari kebuddhaan (Chutiwongs, 1984 :18).
Prinsip dua kaya (rūpakaya dan dharmakāya) ini kemudian menjadi penggabungan “relik /dharmasarīra” di stupa, dan praktek mengisi ruang kosong pada arca dengan mantra. Mantra mempunyai peran sebagai dharmakāya (wujud rohani) dan arca sebagai rūpakaya (wujud fisik). Penggabungan keduanya pada arca yang awalnya mati akan menjadi hidup.
Praktek mengisi ruang kosong pada arca ini juga ditemukan pada arca-arca perunggu dari Desa Kunti, Nganjuk. Di dalam arca tersebut diselipkan gulungan yang terbuat dari perak dan emas dengan inskripsi yang berbunyi ”om hung phat” artinya mendapat kebebasan”. Inskripsi-inskripsi pendek ini sangat penting karena arca yang dipuja dalam haruslah “dihidupkan” dengan memberi mantra-mantra (Ferdinandus, 1995: 22). Praktek ini pula tampaknya diterapkan pada temuan satu arca Ganesha di Jalatigo sehingga dari bagian dasar dibuat lubang sampai pada bagian kepala arca lalu mantra-mantra dimasukkan ke dalamnya.