Mohon tunggu...
agus suryadi
agus suryadi Mohon Tunggu... Pengajar/Guru SD -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Senyum

30 Oktober 2017   10:09 Diperbarui: 30 Oktober 2017   10:27 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Rumah Sakit Bhakti Husada, Pak," kataku setelah menutup pintu taksi.

Taksipun melaju meninggalkan pekarangan rumah yang sepi. Rumah besar yang seharusnya nyaman dan asri. Rumah indah yang seharusnya penuh dengan gelak tawa.  Tapi kenyataannya sangat lain. Rumah ini bagaikan rumah kosong tak berpenghuni.

Tidak seperti keluarga utuh lainnya. Yang selalu penuh dengan keceriaan disetiap kesempatan. Atau peristiwa penting lainnya. Mereka, yang aku anggap keluarga sibuk dengan pekerjaan dan keasikannya masing-masing. Terlebih lagi ibu.

Apalagi setahun belakangan ini. Setelah ayah lebih memilih meninggalkan rumah dan hidup dengan perempuan lain. Yang belakangan aku tahu jika perempuan itu adalah istri muda ayah yang ia nikahi dengan cara menikah siri. Jujur saja, aku tidak sepenuhnya menyalahkan ayah.

Pertengkaran yang aku dengar dibalik pintu kamar, jelas menggambarkan betapa ayah sangat marah.

"Aku ini suamimu! Aku berhak mengetahui semua yang terjadi denganmu. Apakah aku salah jika memintamu meluangkan waktu sedikit saja untuk aku dan anak-anak kita?" suara ayah terdengar penuh amarah.

"Aku tidak mau diatur! Pekerjaanku menuntut aku untuk profesional! Aku tidak bisa berdiam diri dan bermanja-manja dengan suasana. Anak-anak kita, mereka sudah aku percayakan sama Mbok Dinah. Toh dari mereka bayi, Mbok Dinah yang mengurus. Dia sudah paham apa saja yang mereka perlukan. Mas, aku ini wanita karir. Bukan ibu rumah tangga yang  bisanya hanya berdiam diri dan menuruti apa kata suami. Kalau Mas memang sudah tidak bisa sejalan denganku ... lebih baik kita ...

"Cerai maksudmu? Begitu!" suara ayahku terdengar meninggi.

"Aku tidak mengatakan itu."

"Dari kata-katamu jelas menggambarkan itu!"

"Kalau itu maumu, oke! Dan sekarang, silahkan, Mas meninggalkan rumah. Ini rumahku, hasil jerih payahku."

Aku hanya bisa menangis di dalam kamar. Sosok ibu yang aku idam-idamkan, sama sekali tidak tergambar dalam benakku. Pertengkaran yang terjadi dan aku tangkap dalam pendengaran, dapat menggambarkan sisi ibu yang sangat egois. Sangat egois.

Angin malam menyeruak di antara kaca taksi yang aku buka sebagian. Dingin malam mengelus kulit putihku yang terbuka. Aku tidak sempat memakai baju hangat atau jaket.

Pesan singkat yang aku dapat dari Riyan, kakak lelakiku satu-satunya, membuat aku benar-benar syok.

"Ke Rumah Sakit sekarang juga!"

Tanpa berpikir apa-apa lagi, aku langsung memesan taksi, dan pergi menuju Rumah Sakit.

"Ya Tuhan ... semoga tidak terjadi apa-apa dengannya. Aku sangat menyayangi dan mencintainya. Kumohon sembuhkan dia Tuhan," bisikku dalam hati.

Aku membuka telepon genggam. Pukul duabelas lewat limabelas menit. Di pojok layar tertera tanggal 22 Desember 2015.

"Hari Ibu" desisku.

Mataku menerawang jauh.

Ibu, seharusnya dia ada ketika aku sedang membutuhkan. Ibulah yang membelai rambutku ketika aku ingin bermanja-manja. Ibulah yang mengelus pipiku ketika aku sedang bersedih. Ibulah yang pertamakali gelisah ketika aku sedang sakit. Ibu jugalah yang pertamakali mengucapkan selamat ulang tahun ketika hari bahagia itu datang. Tapi nyatanya tidak!  Dia sibuk dengan sikap profesionalnya. Ibuku adalah wanita karir yang waktunya tersita dengan segudang pekerjaan. Karena banyaknya pekerjaan dan jadwal-jadwal ... sehingga lupa akan kewajibannya, lupa akan suasana rumah dan lupa jika dia punya aku dan juga kakakku.

Bip ... bip ...

Aku tersentak. Suara pesan pendek dari telepon genggamku membuyarkan pikiranku.

"Sudah sampai mana? Ayo ... " pesan pendek dari kakakku.

"Sudah masuk gerbang Rumah Sakit" jawabku.

Setelah mambayar ongkos taksi, bergegas aku turun. Setengah berlari aku menuju kamar perawatan.

"Huff ..." aku menarik nafas panjang.

Di balik pintu perawatan ini, terbaring wanita yang sangat aku hormati. Dia yang telah merawatku sejak aku mengenal angin. Dia yang gelisah ketika aku terbaring sakit. Dialah wanita yang dengan setia selalu mendengarkan keluh kesahku. Kasih sayang yang ia berikan sungguh melebihi yang aku inginkan.

Krekkk ...

Perlahan aku membuka pintu kamar. Riyan, kakakku, duduk dikursi tepat di sebelah ranjang perawatan. Matanya berkaca-kaca.

"Bagaiman keadaannya, Kak?" tanyaku.

"Alhamdulillah, sudah siuman. Kata yang pertama terucap adalah namamu, Ranti."

Aku tersenyum. Mendekat dan membisikan sesuatu di telinganya.

"Alhamdulillah ... aku mencintaimu, Mbok. Mbok sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. Jika saja boleh, aku ingin mengucapkan sesuatu untukmu ... Selamat Hari Ibu ... terima kasih atas kasih sayang yang telah engkau berikan."

Di sudut mata Mbok Dinah, kulihat air mata. Sama halnya seperti aku dan kakakku.

Mbok Dinah tersenyum. Senyum hangat yang aku dambakan datang dari sosok seorang ibu

-------0000000000000-------------

Di pojok kamar perawatan. Aku membuka telepon genggam.

Kata-demi kata kususun dalam kalimat.

"Untuk mama yang telah melahirkanku. Terima kasih atas segalanya. Tidak lupa aku ucapkan selamat hari ibu. Materi saja tidak cukup. Yang aku damba adalah kebersamaan dan waktu luang untuk bersama mengukir bahagia. Terangi naungan hidup dengan cahaya kegembiraan. I love you."

Kucari nama "mama" klik dan terkirim pesan singkat untuk mama yang sekarang entah ada di mana.

Rdk-22-mei-15

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun