Mohon tunggu...
Agus Suarbawa
Agus Suarbawa Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha

Gemar membaca buku, membaca situasi politik, mengkritisi suatu hal yang tidak sejalan dengan aturan. Tertarik pada dunia pendidikan, mengembangkan suatu inovasi bagi pendidikan, baik dalam bentuk media pembelajaran ataupun pendekatan. Kritik sejatinya bukan menentang tetapi menantang agar suatu sistem berjalan lebih baik dari sebelumnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Ketika Filsafat Bali Bertemu Pendidikan: Tri Hita Karana dalam Arsitektur dan Sekolah"

29 September 2025   16:28 Diperbarui: 29 September 2025   16:51 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Pikiran THK dalam Arsitektur dan Sekolah (Sumber: Dokumentasi Pridbadi)

Ketika Filsafat Bali Bertemu Pendidikan: Tri Hita Karana dalam Arsitektur dan Sekolah

Bali tidak hanya dikenal karena panorama alam dan budaya ritualnya, tetapi juga karena filosofi hidup yang mengakar kuat: Tri Hita Karana (THK). Filosofi ini menekankan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan (parahyangan), dengan sesama (pawongan), dan dengan alam (palemahan). Seiring modernisasi dan globalisasi, nilai-nilai ini semakin relevan sebagai pijakan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, tidak hanya di lingkup budaya lokal, tetapi juga dalam pembangunan dan pendidikan.

Dalam arsitektur, misalnya, konsep THK diwujudkan melalui tata ruang tradisional Bali yang menempatkan pura, rumah, dan alam dalam satu kesatuan harmonis (Windia & Dewi, 2021). Sementara dalam pendidikan, filosofi ini dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran untuk menanamkan nilai kebersamaan, kepedulian lingkungan, dan spiritualitas, terutama pada jenjang SMP ketika siswa sedang membangun identitas sosial dan moralnya (Suweta & Utami, 2022).

Namun, tantangan muncul ketika prinsip THK dihadapkan pada kebutuhan pragmatis masyarakat modern: pembangunan pesat, urbanisasi, hingga pola pendidikan yang cenderung menekankan capaian akademik ketimbang nilai keseimbangan hidup (Putra & Sudirtha, 2023). Pertanyaannya, masihkah filosofi Bali ini mampu menjadi jembatan antara tradisi dan kebutuhan masa kini?

Modernisasi telah membawa perubahan besar pada pola hidup masyarakat, termasuk di Bali. Pembangunan infrastruktur, pariwisata, hingga perubahan sistem pendidikan sering kali menciptakan dilema antara kebutuhan praktis dengan pelestarian nilai budaya. Di tengah situasi ini, Tri Hita Karana (THK) hadir sebagai filosofi lokal yang tetap relevan. Nilai keseimbangan hubungan dengan Tuhan, sesama, dan alam menjadi kerangka etis yang mampu menyeimbangkan tuntutan pembangunan dengan kebutuhan spiritual dan ekologis (Yasa et al., 2022).

Dalam arsitektur dan tata ruang, THK menjadi dasar konsep tradisional seperti Sanga Mandala, di mana ruang suci, rumah tinggal, dan alam sekitar ditempatkan secara harmonis. Namun, urbanisasi dan tekanan ekonomi membuat prinsip ini kerap terpinggirkan, sehingga muncul masalah tata kota yang kurang berorientasi pada keberlanjutan (Windia & Dewi, 2021).

Di bidang pendidikan, khususnya SMP, nilai THK sangat penting karena siswa berada pada fase pembentukan karakter. Integrasi THK dalam pembelajaran dapat membantu menumbuhkan sikap peduli lingkungan, solidaritas sosial, serta spiritualitas yang seimbang (Suweta & Utami, 2022). Sayangnya, pendidikan formal sering kali lebih menekankan pencapaian akademik dibanding pembentukan nilai-nilai kehidupan yang holistik (Putra & Sudirtha, 2023).

Oleh karena itu, pembahasan tentang implementasi THK dalam kehidupan, arsitektur, dan pendidikan menjadi penting, tidak hanya untuk menjaga identitas budaya Bali, tetapi juga untuk menawarkan solusi alternatif bagi problem global: bagaimana hidup bahagia dan harmonis di tengah perubahan.

A. Implementasi THK dalam Kehidupan dan Pendidikan

Tri Hita Karana (THK) pada dasarnya adalah panduan etis yang menyatukan dimensi spiritual, sosial, dan ekologis dalam kehidupan masyarakat Bali. Implementasinya tidak hanya terlihat pada ritual keagamaan, tetapi juga dalam pola interaksi sosial dan perilaku sehari-hari. Misalnya, parahyangan terwujud melalui tradisi sembahyang rutin di pura, pawongan hadir dalam solidaritas sosial seperti gotong royong (ngayah), sementara palemahan tampak dalam tata kelola lingkungan berbasis adat (Tripayana et al., 2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun