"Mencari Keseimbangan Pendidikan: Antara Inspirational, Perspektif, dan Investigative"
Bayangkan sebuah sekolah tanpa aturan: guru bebas mengajar apa saja, siswa memilih belajar sesuka hati. Apakah itu pendidikan yang ideal, atau justru kekacauan? Sekarang, bayangkan sebaliknya: semua langkah guru diatur kurikulum, setiap detik belajar siswa diawasi standar nasional. Apakah itu mencetak generasi cerdas, atau hanya robot yang patuh?
Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak pernah sederhana. Ia selalu berdiri di persimpangan antara visi besar yang menginspirasi, aturan yang mengikat, dan kritik yang menguji kebenaran. Filsafat pendidikan hadir bukan untuk memberi jawaban tunggal, melainkan untuk menantang kita berpikir: apakah pendidikan kita hari ini masih relevan dengan cita-cita kemanusiaan, atau sekadar terjebak dalam rutinitas formalitas?
Pendidikan sering kali dipandang sebagai jalan menuju masa depan yang lebih baik. Namun, tujuan pendidikan itu sendiri terus dipertanyakan: apakah sekadar transfer pengetahuan, atau jauh lebih kepada pembentukan manusia secara utuh. Sebagian pandangan menekankan tujuan inspiratif (inspirational), yaitu pendidikan yang mengangkat nilai-nilai luhur, karakter, aspirasi ideal, dan menggerakkan motivasi intrinsik siswa (D’Olimpio, 2025). Di sisi lain, terdapat orientasi preskriptif, yang menekankan norma, standar, kurikulum, dan regulasi sebagai penentu arah pendidikan (Müller, 2025). Sementara itu, orientasi investigative hadir untuk mengeksplorasi realitas pendidikan seperti bagaimana praktiknya, dampaknya, dan bagaimana ideal-nya berdasarkan analisis empiris dan kritis (Biesta, 2024).
Di Indonesia, konteks ini sangat relevan, misalnya melalui Kurikulum Merdeka yang mengangkat visi inspiratif berupa profil pelajar Pancasila dengan nilai-nilai seperti kreativitas, kolaborasi, dan berpikir kritis. Namun pada saat yang sama, pemerintah tetap menetapkan preskripsi berupa capaian pembelajaran dan asesmen nasional. Penelitian menunjukkan bahwa implementasi kurikulum yang terlalu preskriptif dapat menghadapi tantangan ketika kapasitas guru, infrastruktur, atau konteks lokal belum mendukung (Putra, 2023). Selanjutnya, dalam ranah filsafat pendidikan, kajian epistemologi riset pendidikan menekankan bahwa penelitian (investigative) harus menyelaraskan tujuan, metodologi, dan nilai agar menghasilkan kontribusi pengetahuan yang bermakna dan etis (Alhanachi, 2025).
Dengan demikian, artikel ini bertujuan untuk: pertama, mendefinisikan secara sistematis ketiga orientasi tujuan filsafat pendidikan; kedua, mengkritisi kekuatan dan kelemahan masing-masing berdasarkan literatur terkini; dan ketiga, menawarkan sintesis agar pendidikan mampu mengintegrasikan inspirasi ideal, preskripsi normatif, dan investigasi empiris.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses yang jauh melampaui sekadar kegiatan transfer pengetahuan dari guru kepada murid. Ia adalah ruang transformasi, tempat manusia dipandu untuk mengenali dirinya, memahami lingkungannya, sekaligus membangun relasi dengan sesama. Dalam arti filosofis, pendidikan mengandung dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis: siapa manusia itu, bagaimana ia mengetahui, dan untuk apa pengetahuan digunakan. Dengan demikian, pendidikan bukanlah aktivitas teknis, melainkan praktik kemanusiaan yang sarat nilai. Dalam konteks ini, filsafat pendidikan memberikan arah fundamental mengenai tujuan pendidikan. Perdebatan muncul karena tujuan tersebut tidak tunggal, melainkan mencakup aspek inspiratif, preskriptif, dan investigatif.
Pertama, tujuan inspiratif dipandang penting karena pendidikan harus mengangkat martabat manusia, membangkitkan motivasi, serta mengarahkan siswa menuju flourishing atau kehidupan yang utuh (D’Olimpio, 2025). Kedua, tujuan preskriptif tetap diperlukan karena pendidikan membutuhkan kerangka normatif berupa kurikulum, standar, dan aturan yang jelas. Namun, kajian mutakhir menunjukkan bahwa kurikulum yang terlalu preskriptif bisa membatasi ruang gerak guru dan siswa sehingga mengurangi fleksibilitas belajar (Gorur & Keddie, 2024). Ketiga, tujuan investigatif dibutuhkan agar pendidikan tidak berhenti pada idealisme atau norma, tetapi juga diuji secara empiris melalui penelitian, evaluasi, dan refleksi kritis. Penelitian pendidikan, misalnya, dapat membantu menemukan kesenjangan antara visi besar dan realitas di kelas (Biesta, 2024).
Makna pendidikan dapat dipahami dari dua sisi. Pertama, sebagai proses individual, pendidikan membantu setiap manusia menemukan potensi dirinya. Ia menumbuhkan daya pikir kritis, kemampuan moral, serta kepekaan emosional. Pendidikan pada level ini berfungsi membentuk manusia seutuhnya, bukan hanya menyiapkan tenaga kerja. Kedua, sebagai proses sosial, pendidikan menjadi wahana pewarisan budaya sekaligus transformasi masyarakat. Melalui pendidikan, nilai-nilai luhur diturunkan, tetapi juga diperbaharui agar relevan dengan tantangan zaman.
Lebih jauh, pendidikan bermakna ketika ia memberi arah pada kehidupan. Pendidikan yang hanya mengejar angka ujian atau sertifikat cenderung kehilangan ruhnya. Sebaliknya, pendidikan yang berorientasi pada pengembangan karakter, kreativitas, dan empati akan melahirkan manusia yang berdaya dan berkontribusi. Seperti diingatkan oleh para pemikir kontemporer, pendidikan sejatinya harus berorientasi pada flourishing, yaitu kehidupan yang baik dan bermakna.Â