Mohon tunggu...
Agus Setyadi
Agus Setyadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Wartawan Banda Aceh dan Kuliah di komunikasi unsyiah

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mereka Yang Hidup Dengan Darah, dan Matipun Karena Darah

10 November 2012   07:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Oleh : Agus Setyadi

MATAHARI pagi baru saja menampakkan sinarnya kala puluhan anak-anak itu berkumpul di bawah pohon rindang. Bangku dan meja panjang tersusun dengan rapi. Di depan anak-anak itu tersedia sebungkus nasi gurih dan sebotol air mineral. Dengan wajah ceria, mereka menyantap makanan yang telah dihidangkan.

Pagi itu, mereka bermain, bercengkrama dan mengobrol antar sesama dengan penuh kecerian. Sekilas, tidak ada yang berbeda antara mereka dengan anak-anak normal lainnya. Mereka masih tetap bisa bersekolah, bermain dan beraktivitas lainnya. Hanya saja, mereka butuh transfusi darah saban bulan.

Mereka adalah anak-anak penderita penyakit Talasemia. Penyakit turunan yang mengakibatkan sel darah merah cepat mati. Mereka tidak pernah mengeluh dengan keadaan. Mereka tetap tabah menjalani kehidupan mereka.

Dulu, ejekan, dikucilkan, jadi makanan mereka sehari-hari. Kadang, mereka lebih memilih mati dari pada harus transpusi darah karena tidak sabar dengan ejekan orang-orang sekitar mereka.

“Dulu, ada penderita di Indrapuri, Aceh Besar yang dikucilkan dan ejek sehingga tidak berani keluar dari rumah. Mereka sudah memilih mati dari pada transpusi darah,” kata Founder Darah Untuk Aceh, Nurjannah Husien, kepada wartawan disela-sela acara meuramien bersama anak thalasemia di Taman Sari, Banda Aceh, Minggu (4/11).

Banyak orang-orang di desa tidak mengetahui penyakit itu. Sehingga, sebagian mereka ada yang beranggapan bahwa penyakit itu merupakan sebuah kutukan. Karena mereka harus selalu melakukan transfusi darah.
“Mereka (orang desa) mengira penyakit itu merupakan kutukan karena memelihara setan karena darah mereka selalu habis,” jelas wanita yang biasa di sapa Nunu itu.

Tapi sekarang anggapan-anggapan itu mulai hilang dari pikiran masyarakat awam yang ada di pedesaan. Mereka sudah bisa menerima penderita penyakit itu untuk tinggal di kampung mereka. Mereka tidak lagi mengejek maupun mengucilkan para penderita thalasemia.

Penderita thalasemia ini memerlukan transpusi darah saban bulan. Jika tidak, maka mereka akan lemas bahkan meninggal dunia. “Sehingga ada yang menyebutkan mereka hidup karena darah, dan matipun karena darah,” ujarnya.

Nunu mengisahkan, bahwa anak-anak yang menderita thalasemia tidak memikirkan makanan enak nan lezat. Tapi mereka hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan darah. jika kebanyakan anak lain datang ke Banda Aceh untuk berlibur, mereka hanya untuk mentransfusikan darah.

“Ada anak dari Sigli, yang selalu bilang pada setiap orang yang lewat, “Jika ada donor darah kasih untuk saya ya.” Dia selalu bilang itu,” kenangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun