Mohon tunggu...
Agus Setiadi Sihombing
Agus Setiadi Sihombing Mohon Tunggu... Penulis - Stay humble and being life-long learner!

Mewujudkan impian dengan menghadirkan mimpi bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka Nestapa di Kampung Khatulistiwa

27 Januari 2020   06:00 Diperbarui: 27 Januari 2020   06:18 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah Pesan Untuk Negeriku

***

Pagi hari ketika fajar masih malu-malu menampakkan wujudnya ke bumi, Torang telah bersiap-siap untuk memulai perjalanan menuju kediaman tempat bekerja para pejabat kampungnya; Kampung Khatulistiwa. Entah apa yang mendorongnya pergi, yang pasti ia terlihat menggebu-gebu untuk dapat sampai di kediaman para pejabat kampungnya itu. Tampaknya, ada sesuatu yang sepertinya perlu segera ia udarakan di hadapan pejabat kampung.

Ia mulai memantapkan langkahnya menyusuri jalan berlumpur kampungnya itu. Kakinya terlihat begitu kejam menapak jalan berlumpur itu, hingga menyisakan telapak-telapak kaki yang terbentuk sempurna di sepanjang jalan. Membentuk jarak antartelapak kaki yang cukup jauh. Terlihat benar Torang sangat terburu-buru.

Ia tidak pergi sendirian. Ibu Marta, seorang ibu dari dusun kampung paling Timur dan Yabes, seorang pelajar yang biasa memimpin pergerakan turut serta mengikutinya. Masing-masing dari mereka juga memboyong sekelompok orang yang cukup banyak. Mereka memiliki tujuan yang sama: memperjuangkan nasib hidup di kampung yang dikata kaya dan sudah tujuh puluh empat tahun merdeka.

"Lihatlah kondisi kesehatan anak ibu ini!" seru ibu Marta sembari menunjuk anak kurang gizi di gendongannya. "Apakah karena ibu tinggal di pelosok kampung sehingga ibu dan teman-teman ibu lainnya dikesampingkan?" tambahnya kemudian menunjuk sekelompok orang yang turut bersamanya.

 "Alasan yang membuat kami datang ke sini adalah untuk memastikan bagaimana nasib dusun dan sekolah kami. Jalan dusun kami sangatlah buruk, apalagi saat hujan deras datang. Sementara untuk bersekolah, kami harus melalui sungai dengan ombak yang kuat. Adapun jembatan, hanyalah jembatan gantung yang ketika dilewati bergoyang dan mengumbar rasa takut di dalam benak kami. Sementara abdi kampung katakan, pendidikan adalah syarat utama memajukan kampung. Saat dimintai realisasinya, mereka hanya bisa memberi janji, janji, dan janji. Bahkan kerap terkesan fatamorgana dan hanya memberi ekspektasi yang menyakitkan kepada kami," sela Yabes menimpa dengan panjang lebar, seperti membumihanguskan kekesalannya.

"Ya sudah kalau begitu. Mari kita menghadap para pejabat kampung! Semoga segala aspirasi dan keluhan kita dapat didengarkan oleh mereka," seru Torang seraya melangkahkan kaki. Langkahnya tampak lebih bersemangat berkat kedatangan mereka.

Torang sebagai pemimpin barisan, berjalan paling depan dan menjadi penunjuk arah bagi rombongannya. "Ternyata bukan cuma saya yang mempertanyakan perihal nasib hidup di Kampung Khatulistiwa ini. Nyatanya masih banyak warga yang meminta belas kasihan dan pertanggungjawaban kepada para pejabat kampung. Itu artinya aku harus bisa meyakinkan para pejabat kampung untuk mau membantu hidup kami," gumamnya sembari berjalan dengan langkah seribu kaki.    

Namun menyedihkan, cuaca hari ini tak bersahabat. Mengusik langkah dan asa mereka. Petir berulang kali mendentum diikuti kilat yang turut menjalari langit pagi. Seketika awan putih bak kapas berubah menjadi awan cendawan hitam berbisa. Laksana hujan tumpah dengan lebatnya. Sementara, baru setengah perjalanan yang Torang dan rombongannya lalui.

"Ibu Marta, sebaiknya ibu beristirahat saja!" seru Torang seraya menghampiri bu Marta yang terlihat memaksakan dirinya untuk terus berjalan di tengah lebatnya hujan. Berlagak kebal terhadap hantaman rintik hujan. "Atau, kembalilah ke rumah Ibu! Sepertinya anak ibu menggigil kedingingan dan butuh tempat berteduh," tandasnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun