(Tulisan ini dipublikasikan dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2025)
Setiap tahun, pada tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara. Namun, setiap peringatan seharusnya bukan sekadar seremoni, melainkan juga menjadi ruang refleksi atas wajah pendidikan kita hari ini---apakah masih berjalan dalam semangat "ing ngarsa sung tulada" atau justru terjebak dalam birokrasi yang mengaburkan hakikat kolaborasi?
Salah satu refleksi penting yang perlu diangkat adalah dikotomi antara pendidik dan tenaga kependidikan yang secara sistemik telah tertanam dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan, seperti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008. Dikotomi ini, meski dimaksudkan sebagai klasifikasi administratif, dalam praktiknya kerap menimbulkan hierarki semu di institusi pendidikan, yang pada gilirannya melahirkan ketimpangan peran dan penghargaan antar profesi.
Tenaga Kependidikan: Profesional yang Tersisih
Dalam realitas lapangan, tenaga kependidikan seperti pustakawan, laboran, teknisi, arsiparis, hingga tenaga administrasi sering dianggap "warga kelas dua" atau hanya pendukung belaka, bukan bagian dari aktor utama dalam proses pendidikan. Sebuah kekeliruan mendasar. Dalam era pendidikan modern yang mengedepankan pendekatan transdisipliner dan kolaboratif, peran mereka justru semakin sentral.
Ambil contoh pustakawan. Ia bukan hanya penjaga buku, tetapi kurator informasi, fasilitator literasi digital, bahkan mitra dosen dan guru dalam memperkaya referensi ajar. Begitu pula laboran, yang memfasilitasi proses eksplorasi ilmiah di laboratorium dengan keahlian teknis tinggi. Mereka adalah fungsional profesional, sama seperti guru dan dosen, hanya beda ruang kerja dan pendekatan. Tapi status mereka? Sering kali dianggap inferior.
Padahal, dalam praktik terbaik pendidikan global, tenaga kependidikan diberikan pelatihan berkelanjutan, akses pada pengembangan karier, dan peran strategis dalam pengambilan keputusan akademik. Kita, justru masih terjebak dalam struktur yang membatasi ruang kolaborasi lintas profesi.
Pendidikan: Tanggung Jawab Kolektif
Secara substansi, dikotomi ini juga membentuk persepsi keliru bahwa tanggung jawab pendidikan hanya berada di tangan tenaga pendidik. Sebuah narasi yang bertentangan dengan prinsip holistik dalam pendidikan. Pendidikan adalah ekosistem, bukan hierarki. Tidak akan lahir pendidikan yang bermakna tanpa dukungan penuh dari setiap elemen di lingkungan sekolah dan kampus---baik akademik maupun non-akademik.
Model sekolah yang ideal adalah ekosistem kolektif, di mana semua peran saling terkait: guru mengajar, pustakawan mendukung literasi, laboran memfasilitasi praktik, staf administrasi memastikan kelancaran proses, dan manajer sekolah menjamin tata kelola yang adil. Menyederhanakan tanggung jawab pendidikan hanya pada guru dan dosen adalah pengingkaran terhadap kerja kolektif yang menjadi fondasi keberhasilan pendidikan.
Mereformasi Perspektif Kelembagaan