Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mendorong Netralitas Pegawai Negeri

2 Oktober 2015   16:58 Diperbarui: 3 Oktober 2015   00:03 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyelengaraan Pilkada (Pemilihan kepala Daerah) serentak yang akan digelar pada Desember mendatang masih terus dimatangkan. Meski pemerintah meyakini bahwa Pilkada ini akan sukses, namun persoalan-persoalan masih membayangi pelaksanaan Pilkada ini. Beberapa persoalan yang masih membutuhkan penyelesaian segera, dari mulai persoalan calon tunggal, persyaratan calon independen, hingga persoalan netralitas aparatur sipil negara (PNS) pun terus dimatangkan.

Menarik untuk dibahas kali ini adalah perihal netralitas PNS (Pegawai Negeri Sipil), perihal keikut sertaannya dalam pilkada, baik sebagai pemilih maupun sebagai partisan. Dalam sejarahnya, keterlibatan PNS dalam politik praktis sebetulnya bukan barang baru. Sejak jaman orde baru, PNS selalu dilibatkan dalam hal politik praktis.

Pada masa orde baru, hubungan antara birokrasi dan kekuatan politik menjadi pilar penting, hal ini ditujukan untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam hal demikian, dikenal dengan loyalitas tunggal. Loyalitas tunggal ini dimaksudkan untuk mendukung kekuatan orde baru, dan untuk menyalurkan aspirasi politiknya disediakan wadah dalam bentuk Golongan Karya (Golkar). Menyadari besarnya jumlah PNS, maka kala itu Pemerintah mendorong gagasan dibentuknya sebuah organisasi komunitas pegawai negeri sipil yang kita kenal sebagai KORPRI (Korps Pegawai Negeri), yang keanggotaanya bersifat wajib.

Dinamika KORPRI digambarkan oleh Mohtar Mas’oed (politik, birokrasi dan pembangunan; 1994), Sejak pembentukannya, KORPRI secara umum sangat efektif dalam menggerakkan pegawai negeri beserta keluarganya untuk memilih Golkar dalam pemeilihan umum, dan dalam menjauhkan mereka dari kegiatan partai politik. Ketidakpatuhan pada tuntutan KORPRI bisa berakibat hilangnya pekerjaan sebagai pegawai negeri, dan dalam ekonomi yang tidak dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi warganya, kehilangan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah, sekalipun gajinya kecil, akan mengakibatkan penderitaan yang besar.

Bahkan telah menjadi rahasia umum, posisi jabatan dalam suatu instansi pemerintahan ditentukan dari seberapa besar tingkat loyalitasnya dan perannya kepada Golkar. Agar dapat menduduki pejabat tersebut PNS harus memiliki aliansi politik yang kuat. Dengan demikian, jabatan yang ada dalam instansi pemerintah baik di pusat maupun daerah adalah kue yang diperebutkan berdasarkan besarnya kekuatan politik dan bukan berdasarkan prestasi kinerja individual bersangkutan.

Kekuasaan orde baru yang berlangsung 32 tahun nyatanya telah membuat PNS terjebak pada situasi politik praktis. Bahkan kondisi itu telah mendarah daging dan telah telah membudaya yang sulit dihilangkan, budaya pengaturan jabatan, nepotisme, korusi, kolusi, telah menjadi hal yang lumrah dikalangan PNS sendiri, dan terbangunlah simbiosis mutualisme antara birokrasi dan politik.

Bersamaan dengan tumbangnya orde baru, situasi politik berubah secara drastis. Jika pada masa orde baru jumlah partai hanya 3, maka dengan sendirinya kebebasan berserikat mendorong munculnya partai-partai baru yang jumlahnya sangat banyak. Sejalan dengan situasi demikian, posisi PNS yang awalnya tidak memiliki pilihan dalam hal sikap politiknya, maka dengan sendirinya hal itu menjadi tidak berlaku. Untuk menjamin netralitas PNS, maka pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan UU No. 43 Tahun 1999 tentang perubahan UU No. 8 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian, yang dicantumkan pada pasal 3.

Lebih lanjut Peraturan Pemerintah (PP) No 5 Tahun 1999 dan PP No 12 Tahun 1999 khususnya Pasal 7 Ayat (2) mengatur, seorang PNS yang menjadi anggota dan atau pengurus parpol, selambat-lambatnya tiga bulan setelah berlakunya PP itu harus mengajukan permohonan melalui atasan langsung. Jika diizinkan, yang bersangkutan harus melepaskan jabatannya. Dengan demikian, antisipasi keterlibatan PNS dalam politik praktis pada masa sekarang telah diatur sedemikian rupa untuk dibatasi peranannya.

Kendati demikian, bukan berarti membuat serta merta PNS tidak digiring kearah politik praktis. Berdasarkan data biro umum dan Badan Kepegawaian Negara ada 1.002 PNS yang aktif di beberapa departemen menjadi anggota dan pengurus parpol (Toto Subadriyo; Kompas 2004). Keterlibatan PNS dalam dukung mendukung calon kepala daerah dilatarbelakangi oleh kepentingan Jabatan atau karier kepegawaian jika calon yang didukung tersebut berhasil memenangkan Pilkada.

Jaminan Netralitas

Persoalan netralitas dalam pilkada besok memang sulit untuk dicegah, karena telah memasuki ranah kepentingan individu. Bahkan dibanyak daerah, hubungan antara birokrasi dan politisi terbangun sedemikian kuat. Posisi jabatan dalam birokrasi kebanyakan berasal dari PNS yang memiliki aliansi dengan kekuatan pemenang Pilkada, bahkan secara terang-terangan Jabatan kepala dinas hingga kepala bagian dihuni oleh simpatisan politik tertentu. Tentu hal ini bukan tanpa transaksi, penempatan kader-kader politik memang sengaja disusupkan guna menguatkan posisi politik kepala daerah, juga mengupayakan bagi-bagi kue proyek APBD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun