Beberapa waktu terakhir saya mulai menyadari sesuatu yang agak aneh, saya seperti kecanduan menulis. Rasanya gelisah kalau sehari saja tidak membuka Kompasiana, bahkan sekadar melihat apakah tulisan saya sudah tayang, dibaca, atau... siapa tahu, terpilih menjadi Artikel Utama (AU).
Awalnya saya pikir ini cuma fase biasa. Tapi semakin hari, saya sadar bahwa menulis sudah menjadi semacam kebutuhan batin. Ada perasaan lega setiap kali tulisan saya selesai diunggah, seolah satu beban terangkat. Tapi begitu sehari lewat tanpa menulis, hati mulai resah seperti ada yang hilang.
Lalu muncul pertanyaan kecil di kepala:
Apakah saya sedang brain rot karena terlalu sering menulis?
Atau ini bentuk lain dari pencarian makna hidup?
Lucunya, saya tidak terlalu mempersoalkan pengakuan. Saya justru pernah merasa tidak nyaman ketika terlalu sering menjadi Artikel Utama. Tapi ketika seminggu tidak ada satu pun tulisan yang naik halaman depan seperti saat ini...:), rasa penasaran itu kembali muncul. Saya menunggu, berharap, dan tanpa sadar mulai menghitung hari.
Saya pikir yang saya rindukan adalah terpilih AU-nya, tapi ternyata bukan.
Yang saya rindukan adalah pembaca: orang-orang yang berhenti sejenak, membaca tulisan saya, lalu mungkin tersenyum atau mengangguk pelan karena merasa pernah mengalami hal yang sama.
Itulah candu yang sesungguhnya: bukan pengakuan, melainkan koneksi.
Namun, ada satu kenyataan yang membuat saya berpikir ulang:
Tulisan yang menjadi Artikel Utama rata-rata dibaca 300-500 orang,
sedangkan tulisan biasa, kadang tak sampai seratus pembaca.
Di situ saya sadar bahwa pembaca digital sering datang karena label, bukan karena isi.
Selanjutnya di antara semua data statistik itu, justru pesan singkat dari kakak saya yang paling jujur.
"Om, kalau bikin buku lagi sepertinya bagus. Tulisan kamu semakin terasa realistis dan mengena dengan realita kehidupan."
Kakak saya bukan Kompasianer, tapi ia pembaca setia tulisan saya, kalimat di atas muncul setelah dia membaca tulisan yang berjudul "Cincin Perak Sederhana: Makna Baru Sebuah Pernikahan?" Dari sanalah muncul ide tulusnya: bagaimana kalau semua tulisan reflektif ini dikumpulkan menjadi sebuah buku?
Saya mulai menelusuri kembali arsip tulisan, mengurutkan tema, memberi napas baru pada catatan-catatan lama. Akhirnya lahirlah naskah yang saya beri judul:
"Dari Cincin Perak dan Catatan Kehidupan Lainnya:
31 Artikel Realisme Kehidupan, Catatan Reflektif tentang Zaman, Manusia, dan Nilai-Nilai yang Bergeser."