Jika Indonesia benar-benar lolos ke Piala Dunia 2026, sebagian orang mungkin sudah membayangkan euforia besar: stadion yang gegap gempita, suporter yang berangkat ke Amerika, atau pesta nobar dengan bendera merah putih berkibar di tiap gang. Tapi saya tidak seheboh itu. Saya tidak berencana menonton langsung ke stadion, tidak pula menyiapkan terompet dan drum untuk pawai.
Saya hanya berharap dan tentu saja, berdo'a agar kelolosan itu benar-benar menjadi tonggak kebangkitan sepak bola Indonesia, bukan sekadar momen sesaat yang cepat padam setelah peluit akhir.
Dari Nyinyir ke Percaya
Tak bisa dipungkiri, perjalanan Indonesia menuju titik ini bukanlah hal yang mudah. Ada masa ketika nama-nama pemain naturalisasi menimbulkan perdebatan panjang. "Apakah mereka benar-benar cinta Indonesia?" begitu pertanyaan yang dulu kerap terdengar.
Ada yang menuduh langkah naturalisasi ini sebagai jalan pintas, ada pula yang mencibir seolah kita tak mampu melahirkan pemain berbakat sendiri. Namun waktu berjalan, dan hasil di lapangan mulai berbicara. Gol demi gol tercipta, prestasi demi prestasi diraih, hingga pelan-pelan publik yang nyinyir itu luluh oleh rasa bangga.
Kini, saat peluang menuju Piala Dunia terbuka lebar, naturalisasi justru dianggap sebagai bagian dari strategi cerdas bukan sekadar solusi instan. Kita akhirnya sampai di titik temu: bahwa cinta tanah air tidak selalu diukur dari tempat lahir, tapi dari kesungguhan untuk memberi yang terbaik bagi merah putih.
Pelajaran dari Negeri Sebelah
Namun di tengah rasa bangga itu, saya justru merasa sedikit prihatin. Malaysia, negara tetangga sekaligus rival abadi Timnas kita baru-baru ini mendapat sanksi FIFA karena dianggap melanggar aturan dalam proses naturalisasi pemain. Meski sekarang masih dalam tahap banding, dan kabarnya pihak FAM tengah berusaha menghadirkan pengacara terbaik internasionalnya.
Ironis memang. Mereka seolah ingin meniru langkah Indonesia, berharap efek instan dari pemain keturunan. Tapi hasilnya justru sebaliknya: bukan prestasi yang datang, melainkan sanksi yang menampar.
Bukan Sekadar Menang