Di banyak tempat, kopi hadir sebagai kawan setia. Ia menemani obrolan di warung kecil, jadi menu wajib di kafe modern, hingga menjadi simbol gaya hidup. Ada yang menganggapnya sahabat begadang, ada pula yang menjadikannya sumber inspirasi. Saking populernya, hampir setiap sudut kota kini dipenuhi aroma kopi.
Namun bagi saya, kopi justru adalah sumber masalah. Seteguk saja bisa mengundang debar yang tak wajar, keringat dingin di telapak tangan, sulit tidur, hingga serangan panik yang tiba-tiba datang tanpa ampun.
Saya bukan penikmat kopi, meski dulu pernah mencoba mengikutinya hanya demi rasa ingin tahu, juga karena melihat orang lain begitu menikmatinya. Tetapi tubuh saya seakan memberi peringatan keras: kopi bukanlah teman bagi semua orang.
Sensitivitas yang Tak Bisa Diabaikan
Saya adalah penyintas gangguan kecemasan yang kini menjalani terapi ke psikiater. Dalam kondisi seperti itu, tubuh saya jauh lebih peka terhadap perubahan kecil sekalipun. Kafein dalam kopi, yang bagi banyak orang hanya memberi efek segar, bagi saya justru memperparah gejala kecemasan.
Efeknya cepat terasa: jantung berdebar-debar seperti habis berlari, telapak tangan berkeringat, kepala terasa ringan, pikiran melayang-layang. Kadang, gejala itu berujung pada serangan panik yang membuat saya sulit bernapas dengan tenang.
Seolah belum cukup, kopi juga memicu penyakit lama saya: maag. Perut terasa perih, mual, dan kadang panas di dada. Rasanya seperti tubuh menolak secara total kehadiran cairan hitam pekat itu.
Belajar Mendengarkan Tubuh
Awalnya, saya menganggap semua itu hanya sugesti. Mungkin saya terlalu cemas, pikir saya. Tetapi setelah berkali-kali mencoba dan hasilnya selalu sama, saya akhirnya belajar mendengarkan tubuh saya sendiri.
Ternyata tidak semua orang bisa minum kopi dengan tenang. Ada yang tubuhnya menerima, ada yang menolak. Saya berada di kelompok kedua, dan itu tidak apa-apa.