Pendahuluan
Di tikungan jalan menuju kampung halaman, gapura merah putih berdiri gagah di tepi sawah. Seakan melambaikan tangan kepada siapa pun yang datang.Â
Warna-warna tentang HUT RI, membangkitkan rindu akan masa kecil: lomba panjat pinang, suara tawa anak-anak, dan aroma tanah basah selepas hujan.
Berangkat dari Bekasi hari Jum'at sore tanggal 8 Agustus 2025 menuju Cileunyi-Bandung. Lalu lintas lancar di ruas tol Cikampek-Kalihurip hingga keluar di gerbang Padalarang-Cileunyi, hanya memakan waktu sekitar dua jam.Â
Mencari Bahan Tulisan di Cileunyi
Di rumah mertua, saya sempat berniat mengunjungi Pasar Rancaekek tapi rencana itu batal. Dua hari dua malam pun berlalu tanpa banyak aktivitas.Â
Di sela waktu saya melihat guci peninggalan almarhum ayah mertua, sebuah guci reproduksi modern yang meniru keramik dari masa tertentu. Saya ingin menulis tentangnya, tapi kurangnya referensi membuat cerita itu terhenti sebelum dimulai.
Perjalanan Pulang ke Cisalak
Minggu/ 10 Agustus 2025, saya memutuskan pulang ke Bekasi dengan rute memutar melewati Cisalak tanah kelahiran saya. Bukan sekadar untuk berziarah, tapi juga menengok domba yang saya pelihara bersama saudara, serta menikmati suasana menjelang perayaan 17 Agustus.
Gapura HUT RI ke-80 di Kampung Junti berdiri di jalan masuk, kini diapit rumput liar yang menutupi bekas sawah berlumpur tempat kami dulu mengadakan lomba panjat pinang. Di sekitarnya, warga mulai memasang lampu dan menyiapkan berbagai lomba untuk hari kemerdekaan.
Saung, Domba, dan Kehangatan KeluargaÂ
Di kebun, domba-domba sibuk memilah rumput. Tak ada motif ekonomi besar di sini, niat saya hanya menjaga tali silaturahmi. Kalau pun nanti ada hasil, biarlah menjadi kambing guling untuk syukuran bersama warga.
Di sela makan keluarga saya diajak melihat sebuah saung di atas kolam, tempat kami bisa menginap bersama. Dari pintunya saya memandang hamparan sawah, mendengar gemercik air, dan membayangkan kabut tebal menyelimuti pagi.Â
Semua itu membuat saya merenung, betapa besar usaha keluarga di kampung menyambut kami dengan apa adanya: hangat, tulus, tanpa pamrih.
Jalan Pulang yang Penuh Kenangan
Hari itu saya tak bisa menginap, karena esok harus kembali bekerja. Namun, saya berjanji akan kembali dan menginap suatu saat nanti.Â
Di perjalanan pulang, ikon-ikon Subang menyapa: deretan penjual nanas, kebun teh Jalancagak, hingga tugu patung nanas yang berdiri gagah. Saya beranjak meninggalkan Cisalak-Subang menuju Bekasi, Untuk kembali suatu saat nanti.Â
Penutup
Di Setiap perjalanan pulang, saya merasa kembali ke akar. Di Cisalak, waktu seolah berjalan pelan: gapura 17an berdiri anggun di tepi jalan, rumput liar menari di sisinya, domba-domba memilah rumput dengan damai, dan saung sederhana menunggu siapa saja yang rindu bermalam di bawah selimut kabut pegunungan.
Semuanya di sini tak diukur dengan jamuan mewah atau materi, melainkan dengan hati yang terbuka dan senyum yang tulus. Jalan pulang mungkin berliku, melewati deretan penjual nanas, kebun teh, serta tugu nanas yang berdiri gagah.
Tapi setiap belokan membawa saya semakin dekat ke rumah, rumah tempat tinggal, rumah yang bersemayam di hati.
Karena sejauh apa pun saya melangkah pergi, Cisalak selalu menunggu... dengan kenangan, kehangatan, dan rasa kembali ke akar yang tak pernah pudar.
Sebagai pelengkap, berikut saya sertakan video dokumentasi perjalanannya:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI