Mohon tunggu...
Agus Dwianto
Agus Dwianto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Guru, Blogger, Trainer Blog dan Multimedia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu 2014, Pertarungan Siapa?

19 September 2013   06:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:41 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13795597291664299340

Pemilihan umum 2014 sudah di depan mata. Ajang pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD ini akan digelar 9 April 2014 mendatang. Sebanyak 15 partai telah resmi terdaftar sebagai peserta pesta demokrasi ini, yaitu 12 partai nasional dan 3 partai lokal. Jauh menjelang  pemilu kita dapat melihat berbagai atribut kampanye di mana-mana. Mulai dari bendera, baliho, spanduk, stiker, kaos, maupun berbagai atribut lainnya. Tak hanya atribut cetak, kampanye maupun sosialisasi juga memanfaatkan berbagai media elektronik, mulai iklan di televisi hingga pemanfaatan berbagai jejaring sosial internet.

Pertarungan siapa sebenarnya ? Ada satu hal yang menarik untuk kita perhatikan. Sebenarnya  pada pemilu ini siapakah yang bertarung ? Pertanyaan ini tentu saja muncul jika kita mencermati sistem pemilu maupun gejolak yang terjadi di lapangan. Sudah kita pahami bersama bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak (UU No 8/2012 Pasal 215). Peraturan ini menjadikan kompetisi besar-besaran bukan hanya antara partai peserta pemilu, melainkan juga antara satu calon anggota legislatif(caleg) dengan caleg lainnya dalam satu partai. Kompetisi ini menjadikan suasana pertarungan yang dirasa kadang memanas. Tak ayal sering kita dengar bagaimana pertarungan uang sering mendominasi. Kontrak   politik antara caleg dengan masyarakat disinyalir bukan sekadar kontrak program-program yang akan dilaksanakan ketika terpilih, melainkan juga "kontrak-kontrak" ataupun deal-deal dengan transaksi tertentu. Politik transaksional ini nampaknya sudah merata terjadi di berbagai daerah. Masyarakat pun tampak menikmati "penyakit demokrasi" ini. Bahkan sering tersiar suara masyarakat yang tidak memilih jika tidak ada dana, atau memilih calon yang memberinya uang. Jika sudah demikian, pertarungan siapakah ini ? Muncul berbagai pertanyaan terkait hal ini. Siapakah yang bertarung, calon apa uang? Visi dan misi atau finansial? Program atau dana ? Siapakah yang dirugikan ? Pertanyaan selanjutnya adalah siapakah yang dirugikan dengan budaya demokrasi ini. Tentu saja para calon yang tidak memiliki dukungan finansial akan tersingkir oleh yang kuat finansialnya, kecuali calon tersebut memang memiliki kredibilitas yang baik di masyarakat serta di dukung kreatifitas dalam mensosialisasikan dirinya. Yang lebih dirugikan sebenarnya adalah masyarakat itu sendiri. Bagaimana tidak? Dengan budaya politik traksaksional ini tentu saja para wakil rakyat yang terpilih bukan lagi orang-orang dengan kapabilitas dan kredibilitas yang baik, melainkan para calon yang didukung kekuatan finansial besar seberapa pun kemampuan dan kredibilitasnya. Tak ayal sering kita dengar bagaimana seorang anggota legislatif tidak memiliki kemampuan ketika sudah duduk di kursi dewan. Tugas-tugas kedewanan pun akhirnya hanya dipikul oleh segelintir orang yang memang terpilih karena memiliki kapabilitas dan kredibilitas serta profesionalisme yang baik. Jika sudah demikian siapakah yang dirugikan? Mari kita ubah bersama budaya ini. Mari kita laksanakan pesta demokrasi ini dengan lebih baik lagi. Dengan pemilu yang bermartabat kita harap melahirkan para wakil rakyat yang memang berkompeten.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun