Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pemilu 2019 Dipuja di Luar Negeri, Berbuah Dilema di Negeri Sendiri

6 Mei 2019   07:13 Diperbarui: 6 Mei 2019   12:05 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk ajakan menjaga persatuan dan tidak mudah terprovokasi dengan isu-isu yang belum jelas terpasang di Kemanggisan, Jakarta Barat, Jumat (3/5/2019). Spanduk seperti ini bertebaran di sejumlah titik untuk mengajak menjaga perdamaian pascapemilu serentak yang baru saja digelar. | Foto:KOMPAS/HERU SRI KUMORO

"Pengalaman adalah Guru yang Paling Baik", pepatah ini mungkin sangat bermanfaat bagi pemerintah untuk mengkaji ulang bentuk atau format Pemilu 2019 yang baru selesai kita laksanakan bersama. 

Memang nilai plus yang tidak dapat disangkal dan sangat mendapatkan pujian, bahkan dari negara asing adalah terwujudnya kedamaian saat akan, sedang, bahkan hingga akhir Pemilu keadaan sangat kondusif dan aman.

Pemerintah Amerika Serikat sendiri memuji penyelenggaraan pemilihan umum yang damai sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Berita ini saya baca di Kompas terbit tanggal 30 April 2019. 

Hasil dari Pemilu damai ini, AS dengan mantapnya berjanji untuk tetap melanjutkan kerjasama pengembangan Indo -- Pasifik RI -- AS. Hal ini diungkapkan langsung oleh Direktur Jenderal Bidang Politik, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, David Hale kala diterima Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di kantornya, Jakarta, Senin (29/4/2019).

"Pertama-tama saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Indonesia atas gelaran pemilihan presiden yang terselenggara dengan baik secara damai dan sungguh sukses," kata Hale dalam pernyataan persnya seusai pertemuan dengan Menlu RI. Hale juga menegaskan komitmen kerjasama Indonesia -- AS merayakan 70 tahun hubungan diplomatik dan makin mempererat kerjasama di bidang pengembangan ekonomi, pemerintahan yang baik dan di bidang keamanan.

Namun, walau mendapat pujian dari luar negeri, ternyata pemilihan umum kali ini yang memang beda, karena menyerentakkan penyelenggaraan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilu anggota legislatif telah menimbulkan kerumitan luar biasa baik itu bagi pemilih, peserta, dan penyelenggara pemilu itu sendiri. 

Tidak itu saja, kerja keras untuk merekap sekaligus lima kotak suara hasil pemilihan umum telah menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya.

Santunan berlaku bagi penyelenggara pemilu yang mengalami kecelakaan kerja terjadi sejak Januari 2019 hingga berakhirnya masa tugas mereka.

Hingga Jumat (3/5/2019) malam jumlah petugas Pemilu meninggal mencapai hingga 412 orang dan sakit sebanyak 3.658 orang. Total 4.070 tertimpa musibah. Petugas Pemilu yang dimaksud disini adalah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Musibah bagi mereka terjadi akibat kelelahan fisik saat menanggung beban berat dalam menyelesaikan proses rekapitulasi perolehan suara sehingga deadline bagi KPU untuk mengumumkan hasil Pemilu 2019 tanggal 22 Mei 2019 benar-benar selesai dilakukan.

Memang tidak dapat dipungkiri Pemilu 2019 ini benar-benar dari segi biaya bisa menghemat anggaran pelaksanaan karena serenta dilakukan sekaligus memilih Presiden dan Wakil Presiden serta para Legislator, tetapi telah menimbulkan Musibah Nasional dengan banyaknya korban yang kelelahan secara fisik dan stres berat dengan beban kerja yang tidak sedikit untuk benar-benar teliti dalam merekap hasil suara.

Belum lagi teror dari para timses maupun pendukung Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, juga dari para saksi maupun pendukung Calon Legislatif yang duduk satu meja saat perhitungan hingga rekap suara ke formulir C1. 

Ini sungguh menjadi beban dan pekerjaan super berat yang membutuhkan tidak hanya stamina yang kuat, tetapi mental dan pemikiran yang kuat, sehingga banyak anggota petugas penyelenggara pemilu yang meninggal maupun jatuh sakit.

Anggota KPU Divisi Sumber Daya Manusia, Evi Novida Ginting, dalam siaran pers yang diterima Senin (29/4/2019), mengatakan santunan tersebut berlaku bagi penyelenggara pemilu yang mengalami kecelakaan kerja terjadi sejak Januari 2019 hingga berakhirnya masa tugas mereka. Berdasarkan surat Menteri Keuangan tertanggal 25 April 2019, besaran santunan yang diberikan antara lain:

Bagi petugas yang meninggal dunia Rp 36 juta, cacat permanen Rp 30 juta, luka berat Rp 16,5 juta, dan luka sedang Rp 8,25 juta. Besaran ini angka maksimal yang tidak boleh dilampaui.

Pemilu Dipuja Luar Negeri, Dilema Karena Banyaknya Korban Jiwa. (sumber gambar: rmco.id)
Pemilu Dipuja Luar Negeri, Dilema Karena Banyaknya Korban Jiwa. (sumber gambar: rmco.id)

Format Pemilu Dirombak Kembali?

Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Muhammad, menyampaikan, berdasarkan data terakhir, ada 72 petugas pengawas pemilu di bawah Bawaslu yang meninggal. Sementara petugas pemilu di bawah KPU yang meninggal berjumlah 304 orang. Sementara ribuan lainnya sakit.

Ini menjadi catatan kelam dari Pemilu 2019 yang sebenarnya tujuannya sangat baik untuk menghindari pemerintahan terbelah, dimana hasil pemilu-pemilu tidak serentak, mengakibatkan pejabat eksekutif terpilih tidak mendapat dukungan mayoritas parlemen hasil pemilu. Hal ini terjadi karena parpol atau koalisi parpol pendukung pejabat eksekutif yang terpilih berbeda dengan parpol atau koalisi parpol yang menguasai mayoritas parlemen.

Dengan peta politik seperti itu, setiap rancangan kebijakan dari eksekutif cenderung ditolak oleh parlemen atau sebaliknya, sehingga mengakibatkan pengambilan keputusan berlarut-larut, sehingga pemerintahan tidak efektif.

Akan tetapi faktanya dengan melakukan Pilpres serentak, dimana calon presiden dan wakil presiden serta calon legislatif dipilih secara serentak ternyata memakan korban jiwa, maka format pemilu bisa dirombak kembali, bukan kembali ke sistem pemilu yang lama, karena jelas pemilu gaya lama, dimana pilpres dan pilkada dipisahkan dari pemilu legislatif, telah menciptakan pemerintahan terbelah.

Yang harus dilakukan adalah menciptakan format pemilu yang tidak menyulitkan pemilih, peserta, penyelenggara pemilu, sekaligus mampu menghindari terbentuknya pemerintahan yang terbelah.

Mungkin dengan lebih mengedepankan peranan teknologi, maka Pemilu 2024 akan lebih mudah dan simpel? Apa rakyat setuju tahun 2024 kita menggunakan sistem pemilu berbasis elektoronik dan komputer? Melihat kondisi, dimana banyaknya penyelenggara pemilu yang mengalami musibah, sudah seharusnya kita lebih mengedepankan sistem pemilu berbasis elektronik atau e-voting.

Memang harus kita akui, seperti yang diutarakan oleh Andrew Reynolds -- pakar pemilu internasional -- menyatakan sistem pemungutan suara yang konvensional di Indonesia merupakan yang paling transparan di dunia.

Tetapi pada kenyataannya, terlihat juga adanya kecurangan, dimana di beberapa video terlihat oknum-oknum dari pendukung capres dan cawapres serta calon legislatif menusuk kertas suara terlebih dahulu. Pun dengan kesalahan pengisian formulir C1, atau penggelembungan suara, merupakan kecurangan-kecurangan di Pilpres 2019 ini.

Jadi kita pilih mana? Tetap pada format Pemilu 2019 yang kembali diterapkan di Pemilu 2024? Atau kita lebih mengedepankan pemanfaatan teknologi -- e-voting -- untuk lebih memanusiakan para penyelenggara pemilu? 

Selamat jalan para pahlawan pemilu, jasamu tidak akan kami lupakan! Selamat bagi pemenang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun