Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pentingnya Optimalisasi Kurikulum Pendidikan Berbasis Kebudayaan

20 Maret 2019   15:35 Diperbarui: 24 Maret 2019   08:52 791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manortor, Tarian Khas Daerah Batak Toba. Saatnya Kebudayaan Kearifan Lokal Masuk Kurikulum Demi Mempertahankan Eksistensi Budaya Indonesia | detik.com

Tidak dapat dipungkiri arus deras perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semakin memudahkan kita, terkhusus generasi emas yang sekarang duduk di bangku SD, SMP, SMA atau SMK dalam mengakses semua informasi yang beredar luas dengan sekejap saja.

Istilah dunia dalam genggaman kita (The World in Your Hand) telah mampu mengubah gaya dan pola hidup kita untuk mendapatkan informasi serta mampu berkomunikasi dengan teknologi sebesar genggaman telapak tangan.

Tidak dapat dipungkiri, kemajuan teknologi mampu mengubah peradaban manusia, tidak terkecuali di negara Indonesia. Walau terkesan lambat dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, mengakibatkan negara kita menjadi tempat berkembangnya teknologi asing yang masuk ke tanah air, sehingga tergerusnya nilai-nilai dan budaya lokal kita.

Akibat dari keterlambatan pemerintah dalam menyikapi perkembagan teknologi tersebut, negara kita menjadi destinasi dan menjadi pusat pasar dari penjualan-penjualan teknologi luar negeri dengan segala informasi mereka. Sebut saja teknologi seperti telepon pintar (smartphone), prosessor komputer, software atau perangkat lunak, hingga teknologi transportasi menjadi raja di negeri kita.    

Kini muncul lagi game-game online yang dapat merusak kepribadian anak-anak generasi penerus bangsa. Kemunculan game online seperti Point Blank (PB), Counter Strike, World of Warcraft, Call of Duty, RF Online, AION, Gunbound, dan Lost Saga sudah sangat meresahkan, tidak hanya orangtua, tetapi dunia pendidikan kita sangat bersedih oleh karena keberadaan game online ini.

Ibarat candu, perlahan-lahan efek permainan game online sangat merusak sisi psikologi dan kepribadian anak-anak, kenapa? Karena di dalam game tersebut menawarkan gambaran kekerasan seperti perang-perangan, perkelahian, pembantaian etnis, perang antar suku, dan bahkan pembunuhan sadis terhadap siapapun yang dianggap lawan dalam game tersebut. 

Celakanya lagi, jika tidak dilakukan tindakan yang bijak untuk mengendalikan situasi di mana anak-anak masih memainkan game-game online bernuansa kekerasan, akan menyerap segala tingkah laku yang tidak baik tersebut di umur 8 tahun -- 14 tahun, maka ditakutkan akan muncul aksi-aksi radikalisme dan terorisme dalam diri mereka.

Meredupnya Budaya Lokal Indonesia

Indonesia memiliki budaya dan salah satu budaya nasional Indonesia adalah kearifan lokal. Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. 

Koentjaraningrat mengatakan bahwa budaya nasional berfungsi sebagai pemberi identitas kepada suatu bangsa sebagai kontinuitas sejak zaman kejayaan bangsa Indonesia pada masa lampau sampai kebudayaan nasional masa kini.

Warisan budaya nasional sudah sangat banyak, baik itu yang bersifat abstrak, seperti sistem atau gagasan, sikap atau perilaku, maupun yang berwujud dalam bentuk hasil karya dalam bentuk warisan budaya tak benda Indonesia. Menurut tim ahli warisan budaya tak benda, ada 15 kriteria yang digunakan sebagai acuan dalam menetapkan suatu karya budaya menjadi warisan budaya tak benda Indonesia.

Adapun 15 kriteria tersebut adalah karya budaya harus merupakan identitas budaya dari satu atau lebih komunitas budaya; memiliki nilai-nilai budaya yang dapat meningkatkan kesadaran akan jati diri dan persatuan bangsa.

Selain itu, karya budaya harus memiliki kekhasan/keunikan/langka dari suatu suku bangsa yang memperkuat jati diri bangsa Indonesia dan merupakan bagian dari komunitas; merupakan living tradition dan memory collective yang berkaitan dengan pelestarian alam, lingkungan, dan berguna bagi manusia dan kehidupan; dapat memberikan dampak sosial ekonomi, dan budaya (multiplier effect); mendesak untuk dilestarikan (unsur/karya budaya dan pelaku) karena peristwa alam, krisis sosial, krisis politik dan ekonomi. 

Kriteria selanjutnya, menjadi sarana untuk pembangunan yang berkelanjutan, menjadi penjamin untuk sustainable development; keberadaannya terancam punah; diprioritaskan di wilayah perbatasan dengan negara lain; rentan terhadap klaim budaya tak benda oleh negara lain; sudah diwariskan dari lebih dari satu generasi; dimiliki seluas komunitas tertentu. Juga, tidak bertentangan dengan HAM dan konvensi-konvensi yang ada di dunia dan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia; mendukung keberagaman budaya dan lingkungan alam; dan berkaitan dengan konteks.

Dengan menilik laporan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sejak 2009 hingga 2017, setidaknya ada 7.241 karya budaya yang tercatat dan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia. Sementara itu jumlah budaya yang ada di Indonesia sebanyak 7241 karya yang harus kita lestarikan dan wariskan kepada anak cucu kita.

Kearifan lokal dalam sistem budaya di Indonesia tercermin dalam keberagaman agama, keberagaman suku/etnis, keberagaman bahasa. Terdapat lebih dari 250 suku bangsa di Indonesia. Menurut PODES 2014, terlihat bahwa sebanyak 71,8 persen desa di Indonesia memiliki komposisi warga dari beberapa suku/etnis.

Hal ini menunjukkan bahwa keragaman etnis pada desa-desa di Indonesia cukup tinggi. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari baik di rumah maupun lingkungan sekitar adalah bahasa daerah. 

Dari data SUSENAS MSBP 2015 dapat dilihat bahwa bahasa yang paling sering digunakan oleh penduduk dalam pergaulan (Tempat Bekerja/Sekolah/Lingkungan) adalah Bahasa Daerah, yaitu digunakan oleh sebesar 58,95 persen penduduk. Sebaliknya, bahasa yang sangat jarang digunakan adalah Bahasa Asing, yaitu hanya digunakan oleh sebesar 0,09 persen penduduk.

Dengan demikian, secara umum baik di rumah maupun dalam pergaulan, penduduk mayoritas menggunakan bahasa daerah. Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam budaya masyarakat tercermin dalam keikutsertaan masyarakat dalam melakukan kunjungan ke tempat-tempat peninggalan sejarah/warisan budaya, melihat pertunjukan/pameran seni, penggunaan busana daerah/tradisional maupun upacara adat.

Status kunjungan penduduk ke tempat-tempat peninggalan sejarah/warisan budaya masih rendah. Pertunjukan/pameran seni yang sering diikuti adalah seni musik dan seni tari. Penggunaan busana daerah/tradisional hanya dilakukan pada saat menghadiri upacara keagamaan. Upacara adat banyak diikuti oleh penduduk.

Kearifan Lokal dalam sistem sosial tercermin dalam keadaan masyarakat yang aman, terpeliharanya kehidupan yang akrab dan penuh gotong royong. Selanjutnya, persentase desa dengan kebiasaan gotong royong warga adalah tinggi, yaitu sebesar 96,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa budaya gotong royong di dalam desa hampir selalu ada.

Toleransi dan kepedulian sebagai wujud kearifan lokal tercermin dalam sikap persetujuan masyarakat apabila ada kegiatan di lingkungan yang dilakukan oleh suku bangsa lain maupun pemeluk agama lain. 

Toleransi juga ditunjukkan dengan sikap persetujuan masyarakat terhadap pertemanan dengan suku/etnis lain maupun pemeluk agama lain. Kepedulian juga tercermin dari budaya menjaga sumber daya alam, utamanya mata air.

Kearifan lokal dalam kebudayaan fisik tercermin dalam banyaknya situs/bangunan bersejarah yang tersebar di kecamatan-kecamatan di Indonesia. Situs bersejarah tersebut di antaranya adalah gedung bersejarah, pelabuhan bersejarah, stasiun bersejarah, tempat spiritual/makam/petilasan, dll. Mayoritas, situs yang ada adalah tempat spiritual.

Namun, arus globalisasi saat ini telah menimbulkan pengaruh negatif terhadap perkembangan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia. Arus globalisasi yang deras menawarkan gaya hidup yang cenderung pragmatis serta bergaya hidup konsumtif, terbukti secara perlahan-lahan telah mereduksi nilai-nilai yang diajarkan dalam kearifan lokal. 

Kurikulum Pendidikan Berbasis Kebudayaan

Untuk menangkal pengaruh negatif dari arus globalisasi yan tidak terbendung tersebut, sudah sepatutnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memasukkan kebudayaan dalam Kurikulum Pendidikan. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiendu Nuryanti yang mengatakan, kebudayaan yang membangun karakter bangsa akan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.

Selama ini, muatan kebudayaan dinilai sangat minim dalam kegiatan pendidikan. Hal ini diungkapkan Wiendu seusai bertemu Gubernur DIY, Sultan Hamengku Buwono X di Yogyakarta, Rabu (26/10/2011). Penyatuan pendidikan dan kebudayaan harus disambut baik karena kedua bidang tersebut dapat diintegrasikan.

Walau telah ada mata pelajaran Muatan Lokal, namun apa yang diharapkan dari masuknya kebudayaan dalam pendidikan belum mampu mendongkrak nilai-nilai budaya diserap oleh generasi muda kita. Contoh nyata dalam pembelajaran muatan lokal di kelas bukanlah membahas tentang kebudayaan-kebudayaan yang menjadi ciri khas di daerah masing-masing, tetapi aplikasinya sangat jauh dari yang diharapkan.

Untuk itu, diperlukan ketegasan dan sinergi antara pemerintah pusat dengan daerah untuk menerbitkan buku muatan lokal dari daerah masing-masing, maupun untuk mengajarkan bahasa daerah, tarian daerah, maupun kearifan-kearifan lokal yang perlu diajarkan, seperti sejarah terjadinya Danau Toba dengan kajian ilmiahnya, teknologi lokal, seperti bagaimana menenun, membuat ulos, masakan tradisional, obat-obatan tradisional, pakaian atau busana nasional, hingga nilai-nilai lokal dalam perspektif global.

Adalah tugas kita bersama, baik itu sebagai orangtua maupun sebagai pendidik untuk mengajarkan kembali budaya-budaya berbasis kearifan lokal dalam mewariskan nilai-nilai budaya bangsa kepada generasi penerus sehingga budaya kita tidak luntur apalagi hilang.

Dengan fokus menjaga dan mengarahkan generasi sekarang untuk belajar mencintai budaya lokal dengan mata pelajaran muatan lokal, kita mampu mengeksplor potensi daerah, ciri khas daerah serta keunggulan daerah kita sehingga benar-benar mampu tumbuh menjadi ciri khas dan sumber keunggulan daerah yang dikenal luas.

Sehingga pendidikan benar-benar mampu menopang dan memajukan budaya Indonesia menjadi budaya yang dicintai oleh generasi muda sehingga bisa dikembangkan menjadi ciri khas Indonesia menuju Indonesia Maju yang bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun