Setelah Gencatan Senjata: Mengukur Harga Damai Sejati dan Membangun Kembali Gaza dengan Iman
Alhamdulillah, kabar mengenai gencatan senjata ini adalah berita gembira yang begitu melegakan hati saya sebuah jeda napas yang sangat dinantikan setelah berbulan-bulan menyaksikan tragedi kemanusiaan yang menyesakkan. Penarikan awal pasukan Israel dari Gaza City pada 10 Oktober 2025 membuka realitas yang mengerikan: kota yang dulu hidup kini berubah menjadi kota mati, penuh reruntuhan dan debu. Pemandangan sisa-sisa bangunan yang roboh dan jalanan yang hancur lebur merupakan gambaran kehancuran total yang harus disikapi dengan kepedulian global. Ini bukan sekadar akhir dari satu babak konflik, melainkan permulaan babak baru yang sarat dengan beban sejarah dan harapan yang sangat rapuh. Momen ini terasa seperti saat layar loading akhirnya selesai setelah proses yang sangat panjang; melegakan, namun kini kita dihadapkan pada tampilan kerusakan sistemik yang harus diperbaiki secara maraton. Dunia harus mengakui bahwa biaya kemanusiaan dari konflik ini jauh melampaui perhitungan geopolitik semata, menuntut pertanggungjawaban moral dan aksi rekonstruksi yang cepat.
Kerusakan yang tersisa di wilayah penting, khususnya distrik Sheikh Radwan dan Al-Nasr, menunjukkan betapa masifnya kehancuran yang terjadi. Kedua wilayah ini kini menjadi simbol nyata dari kehancuran massal yang merata, di mana hampir seluruh rumah, masjid, dan jalan utama dibuldoser habis hingga nyaris tak terlihat lagi. Infrastruktur yang sebelumnya menopang kehidupan warga kini hanyalah puing yang berserakan. Kondisi ini bukan sekadar menghambat kehidupan sehari-hari; ini adalah tanda luka sejarah yang sangat dalam dan menuntut perhatian dunia untuk segera disembuhkan. Skala kerusakan ini mengingatkan kita pada ground zero pascabencana, tetapi ini adalah bencana buatan manusia. Di tengah reruntuhan tersebut, terdapat data big data kehidupan yang terhapus: setiap puing mewakili kenangan, sejarah keluarga, dan mata pencaharian yang hilang. Rekonstruksi yang dibutuhkan bukan hanya sekadar membangun kembali fisik bangunan, tetapi juga membangun kembali trust dan fungsi sosial-ekonomi yang telah luluh lantak. Ini adalah tantangan terbesar bagi komunitas internasional: mengembalikan martabat kota yang nyaris dilenyapkan dari peta.
Bagi warga yang bertahan hidup, realitas yang mereka hadapi sangatlah tragis. Mereka telah kehilangan segalanya: rumah, keluarga, dan bahkan masa depan yang penuh harapan. Kehilangan ini bersifat multidimensi, bukan hanya materi, melainkan juga hilangnya rasa aman dan kepercayaan diri. Para penyintas kini harus memulai segalanya dari nol, berjuang bangkit dari reruntuhan dan debu yang menyelimuti seluruh aspek kehidupan mereka. Pengalaman traumatis ini membawa beban psikologis yang sangat berat, menjadi babak baru dalam cerita panjang perjuangan dan ketahanan hidup manusia. Di era mental health awareness ini, kita tidak boleh mengabaikan dampak Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang akan dialami oleh generasi penyintas ini. Kehilangan ini menciptakan trust deficit yang mendalam, membuat mereka skeptis terhadap janji perdamaian. Dukungan psikososial (psikologis dan sosial) harus menjadi prioritas utama, setara dengan kebutuhan pangan dan sandang, agar trauma kolektif ini tidak menjadi 'warisan' destruktif bagi anak cucu mereka. Ketahanan mereka adalah mukjizat kemanusiaan yang harus kita hormati dan bantu pulihkan.
Penarikan pasukan Israel ini merupakan bagian dari rencana damai yang diinisiasi oleh Presiden AS Donald Trump. Langkah ini menandai tahap awal dalam proses gencatan senjata dan pertukaran tahanan antara Israel dan Hamas , bertujuan menciptakan suasana yang memungkinkan berakhirnya perang yang sudah berkepanjangan. Meski menghadapi banyak skeptisisme dari berbagai pihak, upaya diplomatik ini menandai langkah penting yang sedang berjalan guna membuka jalan kesepakatan damai yang lebih luas. Perlu disadari bahwa politik realitas di balik rencana damai ini sangat kompleks dan rentan. Keberhasilan rencana ini sangat bergantung pada komitmen jangka panjang semua pihak dan pengawasan internasional yang ketat, bukan hanya sekadar janji di atas kertas. Dunia digital native saat ini akan menjadi saksi sekaligus pengawas, menuntut transparansi dan akuntabilitas dari proses diplomatik tersebut. Gencatan senjata ini harus menjadi jembatan menuju keadilan sejati, bukan hanya jeda sementara yang membuka ruang konflik baru.
Namun, di balik kata "damai" yang diangkat sebagai harapan, terkandung luka mendalam yang sulit disembuhkan. Sejak Oktober 2023, lebih dari 67.200 warga Palestina, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak, telah gugur dalam konflik yang brutal ini. Angka korban yang tragis ini memperlihatkan sisi kelam konflik yang menegaskan bahwa perdamaian bukan sekadar kata-kata manis, tetapi harus benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat yang terdampak. Luka ini adalah pengingat yang sangat kuat bagi dunia akan betapa mahalnya harga damai yang sejati. Data korban jiwa, yang seringkali dianggap hanya statistik, merupakan representasi kehancuran satu generasi. Nilai 67.200 korban adalah setara dengan hilangnya populasi satu kota kecil. Setiap nama yang gugur meninggalkan missing link dalam rantai sosial dan masa depan Gaza. Trauma kolektif ini menuntut pengakuan dan empati global. Perdamaian sejati tidak akan tercipta tanpa adanya keadilan, dan keadilan dimulai dari pengakuan terhadap setiap nyawa yang hilang dan hak-hak dasar yang dirampas.
Walau segala kehancuran menghantam, Gaza tetap menjadi tanah yang dimiliki oleh rakyat Palestina. Ini bukan sekadar pernyataan politik, tetapi keyakinan kuat yang menempel pada setiap jiwa penduduknya. Tanah ini bukan milik penjajah, melainkan milik mereka yang berdiri dan mempertahankannya dengan darah dan doa. Keberadaan Gaza di peta dunia bukan hanya soal geografis, melainkan simbol eksistensi dan hak yang tak bisa ditawar oleh siapapun. Di tengah upaya narrative warfare yang masif, narasi kepemilikan ini adalah jangkar spiritual dan identitas yang membuat mereka bertahan. Gaza adalah simbol keteguhan (tsumud), mewakili penolakan untuk dilenyapkan, baik secara fisik maupun kultural. Slogan "Tanah Kami" bukan hanya klaim, tetapi sebuah deklarasi perlawanan terhadap upaya de-humanisasi dan penggusuran. Keyakinan inilah yang menjadi motor penggerak kebangkitan, jauh lebih kuat daripada beton dan baja yang dihancurkan.
Penarikan pasukan zionis dari Gaza merupakan simbol kemenangan yang menegaskan hak kepemilikan rakyat Palestina atas tanah mereka. Ini adalah momentum yang mengukuhkan bahwa tanah Gaza bukan milik penjajah, melainkan milik mereka yang gigih mempertahankan dan memperjuangkannya. Kepergian pasukan asing ini membawa harapan baru akan kebebasan dan kemandirian bagi penduduk Gaza yang telah lama hidup dalam bayang-bayang konflik. Momen ini adalah penanda penting dalam narasi perlawanan, menggarisbawahi bahwa kekuatan militer pada akhirnya harus tunduk pada kehendak dan keteguhan rakyat. Kemenangan ini bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan titik balik yang memberikan mandat moral dan politis bagi rakyat Gaza untuk mengelola masa depan mereka sendiri. Ini adalah pengakuan de facto atas eksistensi yang selama ini berusaha dihapus, membawa optimisme yang sangat dibutuhkan untuk memulai proses nation-building pascakonflik.
Meskipun yang tersisa hanyalah puing-puing, tetapi kenangan dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik tetap hidup di hati rakyat Gaza. Kenangan akan kehidupan yang dulu ada dan keyakinan bahwa Palestina, khususnya Gaza, akan kembali hidup dan berjaya, menjadi fondasi kuat dalam proses kebangkitan. Ini adalah harapan yang menyatukan segala luka dan asa menjadi kekuatan penuh semangat untuk membangun kembali tanah air mereka. Keyakinan ini adalah modal sosial yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kenangan akan persatuan dan kehidupan normal sebelum kehancuran berfungsi sebagai peta jalan menuju pemulihan kolektif. Mereka tidak membangun dari nol, melainkan membangun di atas fondasi sejarah yang kaya dan memori yang kuat akan identitas mereka. Solidaritas internal dan sense of community yang tinggi adalah faktor X yang akan mempercepat kebangkitan, membuktikan bahwa jiwa sebuah kota lebih kuat daripada kehancuran fisiknya.
Dari reruntuhan dan duka yang mendalam, muncul kekuatan baru yang siap membangun kembali Gaza. Kota yang nyaris hilang dari peta dunia ini kini menjadi simbol kebangkitan dan perlawanan. Harapan ini bukan hanya milik warga Gaza, tetapi juga dunia internasional yang terus memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Kebangkitan Gaza menjadi cerita inspiratif tentang bagaimana kehidupan dapat kembali bersemi walaupun dari tengah kehancuran terdalam. Sesungguhnya, keteguhan dan kebangkitan ini adalah karunia agung dari Allah SWT bagi hamba-Nya yang bersabar dan gigih mempertahankan hak serta keyakinan mereka di atas tanah suci ini. Setelah badai kerugian dan kesabaran yang panjang, janji-Nya untuk memberikan pertolongan dan kemenangan kepada kaum yang beriman dan berjuang dengan ikhlas akan terwujud nyata, menjadikan Gaza, dari puing ke kebangkitan, kota yang tak pernah hilang. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk tidak hanya menyaksikan, tetapi menjadi bagian aktif dalam solidaritas kemanusiaan. Marilah kita jadikan ketahanan Gaza sebagai cermin untuk mengukur kekuatan jiwa kita sendiri. Dukungan moril dan material adalah investasi pada masa depan yang lebih adil. Ingatlah, perlawanan sejati tidak berakhir saat senjata diam, melainkan saat semangat untuk membangun kembali menaungi puing-puing, menegaskan bahwa tanah air adalah milik mereka yang mencintai dan mempertahankannya dengan bijaksana.