Mohon tunggu...
Agustine Ranterapa
Agustine Ranterapa Mohon Tunggu... Guru

Aku seorang Guru SD. Tidak ada keajaiban dalam pekerjaanku. Aku tidak pernah berjalan diatas air dan aku juga tidak mampu membela lautan. Tetapi yang aku tahu, aku adalah seorang pemimpin pembelajaran yang mencintai anak-anak didikku. Karena menurutku seni tertinggi seorang guru adalah bagaimana ia menciptkan kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan". Alhamdulillaah ditakdirkan menjadi seorang guru.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menapaki Jalan Sunyi: Belajar Otentik di Tengah Kebisingan Dunia

26 September 2025   20:54 Diperbarui: 26 September 2025   20:54 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Hidup sering dianalogikan sebagai perjalanan: ada tanjakan, lekukan, jalan datar, dan persimpangan yang menuntut kita memilih. Di satu sisi, gambaran itu mengandung keindahan dan kemampuan untuk menata arah, menemukan arti, merangkai pengalaman. Di sisi lain, realitas kontemporer menambahkan lapisan kompleksitas baru: kebisingan digital, ekspektasi sosial yang diproyeksikan lewat layar, dan standar-standar kesuksesan yang tampak seragam di feed media sosial. Orang-orang di sepanjang jalan itu seperti keluarga, teman, mentor memegang peran penting sebagai penopang moral dan sumber bimbingan; mereka bisa menerangi jalan dengan doa, nasihat, atau sekadar telinga yang mau mendengar. Namun, betapapun kuat dukungan eksternal, langkah aktual tetap harus dilakukan oleh kita sendiri. Ketika tiba saatnya memilih jurusan, menjalankan keputusan besar, atau bertanggung jawab atas arah hidup, tidak ada yang bisa menanggung konsekuensinya selain diri sendiri. Kesadaran ini adalah titik mula dari kebebasan yang bertanggung jawab,  kebebasan yang bukan kabur dan destruktif, melainkan matang karena dipikul secara sadar. Dalam konteks modern, kebebasan pribadi pun sering disalahtafsirkan sebagai pembenaran untuk mengikuti arus dengan dalih "kebebasan berekspresi" lalu meniru pola hidup populer. Padahal, kebebasan sejati menuntut refleksi: bertanya apakah keputusan kita lahir dari suara batin atau hanya pantulan kebisingan luar. Perjalanan personal selalu unik; itu bukan kompetisi, melainkan proses panjang penemuan diri yang menolak hasil cetak ulang. Kesadaran akan keunikan jalan hidup mendorong kita untuk menghormati perjalanan orang lain, tanpa menenggelamkan suara kita demi persetujuan mayoritas.

Dalam perjalanan hidup, relasi sosial memainkan dua fungsi penting: memberi sumber daya emosional dan menyediakan cermin bagi kesadaran diri. Teman-teman yang setia bisa menjadi tempat berlabuh sementara jiwa lelah; mentor memberi peta kasar yang berguna ketika tersesat; keluarga menyediakan akar identitas ketika gelombang perubahan mengusik arah. Tetapi peran-peran itu bersifat instrumental, bukan substitutif. Seorang sahabat yang setia tidak dapat merasakan seluruh riak keputusan Anda; seorang orangtua yang paling peduli tidak sanggup menanggung beban pilihan yang hanya Anda bisa pikul. Inilah batas yang sering luput dari perhatian: menerima nasihat tidak sama dengan menyerahkan kendali. Kontemporer menambah dinamika: algoritma dan platform digital ikut berperan sebagai "penasehat kolektif." Rekomendasi konten, influencer, dan opini viral mudah menggantikan suara-suara lokal. Di saat yang sama, tekanan untuk "menampilkan" kehidupan yang sempurna membuat banyak orang berperilaku sesuai naskah populer demi pengakuan. Praktik ini memudarkan garis antara dukungan yang sehat dan tuntutan konformitas; ia membuat nasihat menjadi preskriptif, bukan dialogis. Maka langkah kritis bagi kita adalah memanfaatkan masukan eksternal sambil mempertahankan kedaulatan keputusan pribadi: mendengar tanpa tunduk, belajar tanpa kehilangan orientasi.

Menjalani jalan hidup sendiri acapkali berarti menghadapi kesepian. Di era media sosial yang konon "menghubungkan semua orang," paradoks muncul: semakin terhubung secara kuantitas, manusia rentan merasa semakin tersisih secara kualitas. Riset ilmiah menegaskan ini bukan sekadar opini: penelitian global dan nasional menunjukkan lonjakan perasaan kesepian di berbagai kelompok umur, termasuk remaja dan dewasa muda, terutama selama dan pasca pandemi. Kesepian jangka panjang bahkan dikaitkan dengan konsekuensi fisik serius dan studi internasional menunjukkan hubungan antara kesepian kronis dan risiko penyakit kardiovaskular, termasuk stroke (The Guardian).

Namun, penting memisah antara kesepian destruktif dan kesunyian reflektif. Kesepian yang dimaknai sebagai ruang batin dapat menjadi sumber transformasi: di dalamnya kita menyingkap pola pikir, mengidentifikasi nilai, dan menemukan keberanian untuk membuat keputusan otentik. Banyak tradisi spiritual termasuk tasawuf Islam menggarisbawahi manfaat muhasabah dalam kesendirian: doa, perhatian pada napas dan hati, serta penyerahan pada tujuan hidup yang lebih tinggi. Psikologi kontemporer menyebut momen refleksi sebagai bahan bakar resiliensi; orang yang mampu memanfaatkan sunyi untuk belajar cenderung lebih adaptif menghadapi kegagalan dan perubahan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan kecenderungan menghindari keheningan melalui distraksi digital, menonton, scroll, memberi "like" yang mengaburkan kesempatan pertumbuhan. Oleh karena itu, seni hidup yang kita butuhkan adalah belajar tampil tabah dalam kesunyian yang membangun, bukan sekadar mengisi kekosongan dengan kebisingan (PMC).

Zaman sekarang menuntut "penampilan" di platform mana pun, seseorang ditantang untuk memproyeksikan versi dirinya yang paling layak dikagumi. Namun di balik estetika yang dipoles, timbul konflik batin: apakah apa yang dipertontonkan itu benar-benar saya? Konsep otentisitas (authenticity) menjadi kompas moral dan psikologis di era ini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa persepsi diri sebagai otentik di media sosial berkaitan positif dengan kesejahteraan mental mereka yang merasa bisa menampilkan konsistensi antara kehidupan online dan offline cenderung mengalami gejala mental yang lebih sedikit dalam jangka menengah (FBZ-Bochum).  Tetapi otentisitas bukan sekadar strategi pemasaran personal; ia menuntut kejujuran terhadap motivasi, batasan, dan nilai. Berani tampil otentik berarti berani menanggung konsekuensi sosial, keterasingan di antara mereka yang memilih jalan berbeda, atau kehilangan pengakuan dari kelompok mayoritas. Ini adalah ujian kematangan: apakah kita memilih pengakuan sesaat atau integritas jangka panjang? Di sinilah peran kebiasaan reflektif menjadi penting---praktik-praktik harian seperti jurnal, dialog sahabat, atau nasihat spiritual membantu mempertajam suara batin agar keputusan personal bukan sekadar gema dari feed yang tak henti berputar.

Ketika sampai pada persimpangan penting, memilih karier, pasangan, lokasi tinggal, atau keyakinan politik maka peran orang lain terbatas menjadi masukan. Pilihan yang paling menentukan membawa konsekuensi langsung kepada pelaku; oleh karena itu akuntabilitas adalah komponen tak terpisahkan dari kebebasan. Otonomi yang tidak diiringi akuntabilitas berubah menjadi tirani ego; sebaliknya, tanggung jawab tanpa kebebasan menjadi penindasan. Formula yang sehat adalah kebebasan bersandar pada refleksi rasional, nilai moral, dan kesiagaan menghadapi hasilnya. Studi perilaku menunjukkan bahwa individu yang mempraktikkan "decision ownership" yakni aktif menganalisis pilihan, merumuskan alasan, dan mempersiapkan rencana kontinjensi memiliki kualitas kesejahteraan yang lebih baik setelah mengalami perubahan besar. Mereka lebih cenderung memandang kegagalan sebagai pelajaran, bukan bukti identitas yang gagal. Dalam kehidupan sehari-hari, ini diterjemahkan ke praktik sederhana: buat daftar pro dan kontra, konsultasi dengan pihak terpercaya yang menghormati otonomi Anda, lalu finalisasi keputusan dan bangun mekanisme evaluasi periodik. Dengan demikian keputusan besar menjadi tindakan dewasa yang berakar pada tanggung jawab, bukan reaksi impulsif pada tekanan sosial.

Budaya populer sering mempromosikan metrik keberhasilan yang homogen: visual wealth, jumlah followers, tanda pencapaian yang mudah diukur. Namun hidup otentik mengajak kita menyoal metrik tersebut: apakah kebahagiaan dan makna hidup dapat direduksi menjadi angka dan like? Viktor Frankl, psikiater dan filsuf eksistensial yang mengajarkan bahwa makna ditemukan ketika seseorang bertanggung jawab terhadap kehidupan yang dipilihnya, bahkan ketika kondisi eksternal penuh penderitaan. Dalam konteks ini, keberhasilan bukan sekadar apa yang masyarakat rayakan, melainkan hasil dari hidup yang selaras dengan nilai-nilai pribadi dan kontribusi kepada kebaikan orang lain. Kegagalan pun berubah makna ketika dipandang sebagai bagian integral proses pembelajaran personal. Daripada memalukan, kegagalan menjadi laboratorium moral di mana kita diuji untuk memperbaiki strategi, mengasah kesabaran, dan meneguhkan ketabahan. Data psikologi positif menunjukkan bahwa individu yang menafsirkan pengalaman buruk sebagai kesempatan pertumbuhan (post-traumatic growth) menunjukkan peningkatan empati, penghargaan terhadap hubungan, dan orientasi tujuan yang lebih kuat. Jadi makna sejati dari keberhasilan adalah kerapuhan yang diatasi secara sadar, bukan tampilan tanpa retakan.

Masyarakat modern terutama di kota-kota besar dan ruang maya cenderung menormalisasi pola hidup tertentu. Standar karier, standar berumah tangga, bahkan standar berpikir sering lupa mengambil ruang untuk pluralitas pilihan. Ketika kultur dominan menekan, individu yang memilih jalan berbeda dihadapkan pada dua risiko: distigmatisasi sosial atau godaan untuk meniru demi keterimaan. Solusi etis dan praktis adalah membangun komunitas kecil yang menghargai perbedaan: jaringan teman, kelompok kajian, komunitas profesional yang mendukung eksperimen hidup, dan platform digital yang memfasilitasi diskursus inklusif. Di level kebijakan, pendidikan juga harus menanam modal sosial: kurikulum yang mengajarkan literasi kritis, etika digital, dan dialog lintas perbedaan. Ketika anak-anak diajarkan sejak dini untuk mengapresiasi perspektif beragam, masyarakat lebih siap menerima pluralitas pilihan dewasa. Dengan begitu, keberanian menjadi berbeda bukan dijadikan beban moral, melainkan potensi untuk memperkaya tata sosial.

Untuk menerjemahkan kesadaran di atas ke praktik nyata, beberapa langkah praktis bisa diterapkan: (1) Latih ritual refleksi harian (jurnal, doa, meditasi) untuk menyelaraskan pilihan dengan nilai; (2) Terapkan "uji realitas" sebelum keputusan besar: cek motivasi eksternal vs. suara batin; (3) Bangun jaringan pendukung yang menghormati otonomi bukan yang menuntut keseragaman; (4) Kelola paparan digital: waktu offline berkualitas lebih berguna daripada sekadar jumlah jam online; (5) Tanamkan budaya evaluasi: setelah keputusan, lakukan review berkala agar langkah diperbaiki bila perlu. Praktik-praktik sederhana ini menjembatani kebebasan pribadi dengan akuntabilitas sosial, menumbuhkan kebijaksanaan sehari-hari yang dibutuhkan agar perjalanan otentik tidak menjadi egois atau terisolasi.

Hidup adalah jalan yang mesti ditempuh sendiri tetapi bukan berarti sendiri-sendirian tanpa komunalitas. Ada garis tipis yang memisahkan otonomi yang matang dan individualisme yang memutuskan akar kolektif. Menapaki jalan sendiri berarti berani mengambil keputusan, menanggung akibat, dan membuka ruang pembelajaran tanpa kehilangan rasa kemanusiaan. Kita boleh menerima dukungan, mengadopsi nasihat, dan memperkaya perspektif; namun ketika akhirnya memilih, pilihlah dari tempat yang paling dalam: hati yang telah diuji oleh sunyi, akal yang telah diuji oleh kenyataan, dan nurani yang menimbang dampak pada orang lain. Dalam tradisi spiritual Islam, tanggung jawab personal berkaitan erat dengan kesadaran akan amanah: setiap individu diminta menjaga diri dan kebebasan dengan penuh tanggung jawab karena setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban. Al-Qur'an menegaskan bahwa manusia diberi pilihan dan dipanggil untuk bertindak adil dan bertakwa; kebebasan tanpa tanggung jawab bukan kebebasan, melainkan kebingungan yang merusak. Pilihan untuk menapaki jalan sendiri adalah ibadah ketika ia dilandasi niat untuk memberi manfaat, menjaga hak sesama, dan merawat bumi. Akhirnya, jangan takut pada kesepian yang konstruktif; jangan tergoda menukar otentisitas demi pengakuan sesaat; dan jangan lupakan bahwa kebebasan sejati selalu berpasangan dengan akuntabilitas. Jalan hidup yang otentik bukanlah jalan mudah: ia menuntut keberanian, ketekunan, dan keimanan. Namun ketika kita menapakinya dengan penuh kesadaran, setiap langkah menjadi doa yang bergerak, suatu bentuk pemuliaan terhadap anugerah hidup itu sendiri. Semoga kita diberi kekuatan untuk memilih dengan bijak, berjalan dengan tabah, dan kembali pulang kepada Tuhan dengan jiwa yang tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun