Malam ini, di bawah cahaya temaram lampu kamar, pikiranku berkelana pada hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian. Bukan tentang impian besar atau kegagalan yang mengguncang, melainkan tentang sebuah ketakutan yang merayap perlahan dalam diriku: ketakutan untuk bersikap tidak sopan. Sebuah ketakutan yang mungkin terdengar remeh bagi sebagian orang, tapi bagiku, ia adalah cerminan dari sebuah prinsip yang mendalam. Aku takut, sungguh takut, jika suatu hari nanti, tanpa kusadari, aku kehilangan kepekaan untuk menghargai kehadiran orang lain. Betapa seringnya kita melihat orang-orang yang menganggap remeh hal-hal kecil, seperti senyum yang tulus, anggukan kepala sebagai tanda terima kasih, atau permintaan maaf yang jujur. Aku tidak ingin menjadi bagian dari mereka. Aku ingin setiap interaksiku meninggalkan jejak kehangatan, bukan kekosongan atau kedinginan. Perilaku baik, seremeh apa pun, adalah investasi yang paling berharga.
Aku merenungi momen-momen yang telah berlalu. Ada kalanya, dalam kesibukan atau kekalutan, aku lupa mengucapkan "terima kasih" pada orang yang telah membukakan pintu untukku, atau "maaf" saat tak sengaja menyenggol bahu seseorang. Dan setiap kali itu terjadi, sebuah sesal yang halus merayap. Bukan karena takut dihukum, melainkan karena aku tahu, di balik kelalaian kecil itu, ada hati yang mungkin merasa tidak dihargai. Hati yang seharusnya dilayakkan dengan sebuah pengakuan sederhana bahwa kehadirannya, sekecil apa pun perannya, berarti. Mengucapkan terima kasih atau maaf bukan hanya sekadar formalitas, melainkan jembatan yang menghubungkan dua jiwa. Jembatan yang mengingatkan kita bahwa kita hidup dalam sebuah tatanan yang saling terikat, di mana setiap tindakan, setiap kata, memiliki bobotnya sendiri. Aku ingin jembatan-jembatan itu tetap kokoh, tidak runtuh karena kelalaianku.
"Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau seberat biji sawi." (HR. Muslim). Hadis ini selalu menjadi pengingatku. Bahwa keangkuhan, bahkan sekecil apa pun, dapat menjadi penghalang bagi kebaikan.
Kadang, ketakutan ini membuatku terlalu berhati-hati. Aku selalu memeriksa kembali perkataanku, memastikan tidak ada nada yang salah atau kata yang melukai. Aku bahkan sering berlatih mengucapkan "tolong" dan "maaf" dalam hati, seolah-olah itu adalah mantra yang harus selalu kuingat. Mungkin ini terdengar berlebihan, tapi aku yakin, ketulusan tidak bisa dipalsukan. Ia harus dilatih, dipelihara, dan dihayati. Aku tidak ingin keramahan ini hanya menjadi topeng. Aku ingin ia keluar dari lubuk hati yang paling dalam, dari kesadaran bahwa setiap orang yang berpapasan denganku adalah individu yang berharga. Bahwa mereka pantas dihormati, pantas disapa dengan senyum, dan pantas menerima kebaikan, bahkan dari orang asing yang tak sengaja bertemu. Ini adalah caraku menghormati kemanusiaan itu sendiri.
Aku menyadari, ketidakmampuan untuk bersikap sopan seringkali berakar pada keegoisan. Keegoisan yang membuat kita merasa dunia berputar di sekitar kita, sehingga kita tidak perlu repot-repot menghargai orang lain. Kita terlalu sibuk dengan masalah kita sendiri, dengan tujuan-tujuan kita sendiri, hingga lupa bahwa di sekitar kita, ada perjuangan lain yang tak kalah beratnya. Dan sebuah "terima kasih" atau "maaf" bisa menjadi oase kecil di tengah gurun kekeringan emosi. Ia bisa menjadi setetes air yang menyegarkan, sebuah pengakuan bahwa kita melihat, kita peduli, dan kita menghargai. Aku tidak ingin keegoisan menguasai diriku. Aku ingin hatiku tetap lapang, mampu melihat dan merasakan kehadiran orang lain.
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman: 18)
Ketakutanku ini bukan hanya tentang bersikap sopan, tapi lebih jauh lagi, tentang menjadi manusia yang utuh. Tentang memiliki empati yang tulus, tentang kesadaran bahwa hidup ini bukan hanya tentang "aku," melainkan tentang "kita." Aku ingin menjadi seseorang yang kehadirannya membawa ketenangan, bukan kegelisahan. Seseorang yang memberikan, bukan hanya menerima. Sikap sopan adalah langkah pertama, sebuah fondasi. Dan dari fondasi ini, aku ingin membangun sebuah karakter yang kuat, yang tidak mudah goyah oleh arogansi atau keangkuhan. Aku ingin menjadi pribadi yang rendah hati, yang tahu bahwa di atas langit masih ada langit, dan di atas kebaikan, ada kebaikan yang lebih besar lagi.
Sungguh, aku bersyukur karena ketakutan ini ada. Ia adalah pengingat yang berharga, sebuah alarm yang selalu berbunyi setiap kali aku mulai melenceng. Ia menjagaku dari sikap tidak acuh, dari hati yang mengeras, dari mata yang buta terhadap hal-hal yang sesungguhnya paling penting. Ada sebuah keindahan dalam kesadaran ini, sebuah keindahan yang membuatku merasa hidup. Karena kesadaran itu, "aku tahu ini sudah luar biasa." Menyadari bahwa setiap tindakan kecil memiliki makna, bahwa setiap ucapan memiliki bobot, adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju kebijaksanaan. Ini bukan tentang menjadi sempurna, melainkan tentang terus berusaha menjadi lebih baik.
Dan malam ini, aku menuliskan semua ini sebagai janji pada diriku sendiri. Janji untuk selalu mengingat bahwa tidak ada yang terlalu sepele untuk dihargai. Janji untuk selalu menjaga lisan dan sikap, untuk selalu mengulurkan tangan dengan tulus, dan untuk selalu melihat setiap orang dengan mata penuh rasa hormat. Setiap interaksi, sekecil apa pun, adalah kesempatan untuk menabur kebaikan. Dan aku ingin menabur sebanyak-banyaknya. Karena pada akhirnya, apa yang kita tinggalkan di dunia ini bukanlah seberapa banyak yang kita raih, melainkan seberapa banyak kebaikan yang kita sebarkan. Dan itu dimulai dari hal-hal yang paling sederhana. Malam ini, aku tidur dengan hati yang lega, karena aku tahu, aku sedang dalam perjalanan yang benar.
"Akhlak yang mulia adalah cerminan dari iman yang kuat." Â {Umar bin Khattab. r.a}