Beberapa waktu lalu, publik pendidikan di Indonesia digemparkan oleh pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar yang menyebut guru sebagai "nabi kecil" yang harus ikhlas dan tidak mengejar uang. Pernyataan ini sontak memicu perdebatan luas, hingga akhirnya beliau melakukan klarifikasi dan meminta maaf. Namun, terlepas dari klarifikasi itu, sesungguhnya pernyataan tersebut bukanlah hal baru. Ia hanyalah gema dari narasi lama yang sudah berulang kali terdengar dalam dunia pendidikan kita yaitu narasi "guru harus ikhlas." Sekilas, narasi ini terdengar indah dan sarat nilai spiritual. Namun dalam praktiknya, ia sering digunakan untuk menutupi kelemahan sistem dan bahkan menjadi dalih untuk membenarkan praktik yang tidak adil terhadap guru. Para pengelola pendidikan, baik di level pemerintah maupun swasta, kerap menjadikan narasi ini sebagai "senjata" untuk membungkam keluhan guru soal kesejahteraan. Akibatnya, banyak guru yang digaji rendah, bahkan di bawah standar hidup layak, tetap diminta bekerja dengan penuh pengorbanan atas nama ikhlas. Padahal, sebagai representasi negara, tugas utama pemerintah dan pengelola pendidikan bukanlah menuntut ikhlas guru, melainkan memastikan bahwa para guru mendapat kesejahteraan yang layak. Sebab, bagaimana pun, kesejahteraan seorang guru akan berdampak langsung pada kualitas pengajaran dan profesionalisme dalam mendidik. Lalu apakah seorang guru tidak boleh menuntut kesejahteraan demi menjaga keikhlasan ?. Apakah menerima gaji layak berarti kehilangan nilai ibadahnya ?. Tentu tidak !!!.
Ikhlas adalah persoalan pribadi, sementara kesejahteraan adalah tanggung jawab komunal. Seorang guru bisa tetap ikhlas mengajar meski ia menerima gaji yang tinggi, karena ikhlas tidak terletak pada besar kecilnya materi, melainkan pada niat dan kejujuran hatinya. Ikhlas adalah dimensi hati yang tidak dapat diukur oleh besar kecilnya materi. Islam mengajarkan bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan imbalan setimpal atas jerih payahnya. Rasulullah bahkan bersabda:
"Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering." (HR. Ibn Majah).
Hadits ini menunjukkan bahwa memberi upah tepat waktu dan layak adalah kewajiban moral dan sosial. Menggunakan narasi ikhlas untuk menjustifikasi rendahnya kesejahteraan guru bukan hanya menyalahi ajaran Islam, tetapi juga bentuk manipulasi teologis. Menggunakan kata ikhlas sebagai alasan untuk memberi gaji rendah sesungguhnya adalah bentuk manipulasi teologis. Ikhlas adalah wilayah pribadi guru, sedangkan kesejahteraan adalah kewajiban sosial dan negara. Guru bisa tetap ikhlas sekalipun ia mendapat gaji yang tinggi, karena nilai ikhlas terletak pada niat, bukan pada angka nominal.Â
Kesejahteraan guru bukanlah hadiah, melainkan hak. Dalam konteks negara modern, guru adalah bagian dari sistem birokrasi pendidikan yang dibiayai oleh pajak rakyat. Maka, memastikan mereka sejahtera adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat. Guru yang sejahtera akan lebih profesional. Ia tidak lagi disibukkan dengan kebutuhan hidup yang mendesak. Ia bisa fokus mempersiapkan pembelajaran, memperkaya metode, dan mendampingi siswa secara optimal. Sebaliknya, guru yang terus bergulat dengan masalah finansial cenderung kehilangan energi untuk berkreasi. Kita bisa membayangkan betapa beratnya beban seorang guru honorer di daerah yang hanya bergaji Rp.300 ribu/bulan. Dengan gaji sebesar itu, apakah ia bisa hidup layak ?. Apakah ia bisa mendidik dengan tenang ketika kebutuhan dasar keluarganya tak terpenuhi ?. Apakah ia bisa benar-benar ikhlas ketika sistem sendiri tidak pernah adil kepadanya ?.
Jika kita menoleh ke negara lain, terlihat betapa profesi guru ditempatkan pada posisi terhormat. Uni Emirat Arab dan Qatar memberikan gaji minimal sekitar $2.500 per bulan, Saudi Arabia menetapkan sekitar $1.300 per bulan dan bahkan Palestina (Gaza), dalam situasi penuh keterbatasan sekalipun, masih mampu memberi gaji minimal $500 per bulan untuk guru. Kontras dengan Indonesia, di mana masih ada guru yang hanya menerima Rp300 ribu per bulan. Ironi ini membuat kita merenung: apakah negara-negara tersebut sedang mendidik generasi yang tidak ikhlas ?. Tentu saja tidak. Mereka sekadar memahami bahwa kesejahteraan guru adalah prasyarat bagi mutu pendidikan. Narasi "guru harus ikhlas" sejatinya lahir dari dua sisi: sisi spiritual yang mulia, tetapi sekaligus sisi struktural yang eksploitatif. Guru memang harus ikhlas dalam mengajar, tetapi bukan berarti ikhlas lalu dijadikan dalih untuk membenarkan sistem pengupahan yang rendah. Apalagi narasi ini sering dibumbui dengan romantisme "pahlawan tanpa tanda jasa." Romantisme ini berbahaya, karena menutup realitas pahit bahwa banyak guru diperlakukan tidak adil. Padahal, guru bukan hanya pahlawan, tetapi juga pekerja profesional yang memiliki hak dasar untuk hidup layak. Menggaji guru murah sambil menuntut keikhlasan sama saja dengan eksploitasi. Ini bukanlah wujud penghormatan, melainkan bentuk pelecehan terhadap profesi mulia.
Kesejahteraan guru tidak semata-mata berbicara tentang gaji atau keuntungan finansial, tetapi menyentuh langsung inti kualitas pendidikan itu sendiri. Guru yang hidup layak akan lebih mampu memfokuskan diri pada tugas utamanya yaitu mendidik dan membimbing generasi. Pertama, guru yang tercukupi secara ekonomi tidak lagi terbebani oleh keharusan mencari pekerjaan tambahan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Energi, waktu, dan perhatiannya dapat tercurah sepenuhnya kepada murid mulai dari mempersiapkan bahan ajar, mendampingi proses belajar, hingga memberikan perhatian personal yang dibutuhkan siswa. Kedua, sejahtera berarti ruang bagi inovasi dan kreativitas. Guru yang tenang secara finansial lebih leluasa menciptakan metode pembelajaran baru, mencoba pendekatan kreatif, dan memperkaya kelas dengan pengalaman belajar yang bermakna. Pendidikan tidak lagi berjalan sekadar rutinitas mekanis, melainkan menjadi ruang eksplorasi yang menghidupkan daya pikir kritis dan imajinasi siswa. Ketiga, kesehatan mental guru tidak bisa dipisahkan dari kesejahteraannya. Tekanan ekonomi yang berkepanjangan mudah melahirkan stres, frustrasi, bahkan kelelahan emosional. Hal ini tentu berdampak langsung pada cara guru berinteraksi dengan siswanya. Sebaliknya, guru yang tenang secara batin akan lebih sabar, hangat, dan penuh empati dalam mendidik. Keempat, martabat profesi guru ikut terangkat dengan gaji yang layak. Guru tidak lagi dipandang sekadar "pekerjaan sambilan" atau "pilihan terakhir" bagi mereka yang gagal meniti karier lain, melainkan sebagai profesi yang bergengsi, mulia, dan layak dihormati. Dengan demikian, profesi guru dapat menarik individu-individu terbaik bangsa untuk turut serta membangun dunia pendidikan. Semua hal ini menegaskan bahwa kesejahteraan guru bukanlah biaya yang sia-sia, melainkan investasi jangka panjang bagi kualitas pendidikan dan masa depan bangsa. Guru yang sejahtera akan melahirkan murid-murid yang lebih cerdas, berkarakter, dan berdaya saing. Maka, memperjuangkan kesejahteraan guru sejatinya adalah memperjuangkan kualitas generasi penerus dan keberlanjutan peradaban.
Pada akhirnya, tulisan ini sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengcounter atau merendahkan pernyataan Bapak Menteri Agama, KH. Nasaruddin Umar. Justru sebaliknya, kami sangat menghormati beliau sebagai ulama, pemimpin, dan sosok yang memiliki perhatian besar terhadap dunia pendidikan dan guru. Klarifikasi yang beliau sampaikan setelah pernyataannya viral juga menunjukkan kerendahan hati dan kebesaran jiwa seorang pemimpin yang mau menjelaskan dan meluruskan agar tidak menimbulkan salah paham. Maka, izinkan saya menyampaikan terima kasih yang tulus kepada Bapak Menteri Agama atas keberpihakannya kepada para guru. Bahwa di tengah keterbatasan dan kompleksitas persoalan pendidikan di negeri ini, beliau tetap menaruh perhatian besar terhadap nasib guru. Tulisan ini hanya ingin menjadi pengingat reflektif bagi kita semua, khususnya para pemangku kebijakan agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan narasi, sebab di era sekarang, kata-kata bisa dengan cepat memengaruhi dan bahkan melukai perasaan banyak pihak, meskipun niat awalnya sama sekali tidak demikian. Semoga semua diskursus ini semakin membuka jalan bagi lahirnya kesadaran bersama bahwa guru bukan hanya membutuhkan dorongan spiritual untuk tetap ikhlas, tetapi juga dukungan nyata agar mereka sejahtera dan dihargai dengan layak. Karena dari guru lahir generasi yang cerdas sekaligus beradab, dan dari guru pula peradaban sebuah bangsa dibangun.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI