Mohon tunggu...
AGUS SJAFARI
AGUS SJAFARI Mohon Tunggu... DOSEN FISIP UNTIRTA, KOLOMNIS, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PEMERINTAHAN

Mengajar, menulis, olah raga, dan seni khususnya main guitar dan nyanyi merupakan hoby saya.. topik tentang sosial, politik, dan pemerintahan merupakan favorit saya..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meretas Jalan Para "Sarjana Pengangguran"

24 Juli 2025   11:30 Diperbarui: 24 Juli 2025   22:55 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Thinkstock via KOMPAS.com

Oleh: Agus Sjafari 

Salah satu problematika yang sangat serius yang dihadapi Indonesia saat ini adalah tingginya angka pengangguran. Hal yang juga sangat mengkhawatirkan adalah semakin tinggi jumlah "sarjana pengangguran" ini. Menurut data BPS prosentase 'sarjana pengangguran' tahun 2024 meningkat dua kali lipat dari 1 dekade yang lalu. Pada Februari 2013, mencatat banyaknya 'sarjana pengangguran' hanya berjumlah 425.042 dari 7.240.897 orang, atau sekitar 5,87%. Persentase 'sarjana pengangguran' mencapai puncak tertingginya pada Februari 2019 dengan capaian sebesar 12,41%. Baru-baru ini, persentase 'sarjana pengangguran' kembali mendekati nilai puncaknya dengan proporsi sebesar 12,12% pada Februari 2024 (GoodStaats, 11 Desember 2024).

Sejalan dengan perlambatan ekonomi yang terjadi dalam dua tahun terakhir, jumlah penganggur di Indonesia setahun terakhir juga meningkat sekitar 83.000 menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Penganggur berpendidikan diploma III, D-IV, S-1, S-2, dan S-3 meningkat, sementara tamatan SMA ke bawah cenderung turun dibandingkan dengan setahun sebelumnya (Kompas, 14/5/2025).

Permasalahan covid -- 19 dan krisis ekonomi yang berkepanjangan dalam beberapa tahun terakhir menyisakan problematika yang besar terhadap pengangguran terdidik. Artinya bahwa negara belum mampu keluar dari zona perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berakibat terhadap semakin sempitnya lapangan pekerjaan. Di samping itu juga para sarjana belum memiliki keterampilan yang memadai untuk memiliki entrepreneur skills yang mumpuni di saat lapangan pekerjaan formal yang semakin sempit ditandai dengan pertumbuhan industri  di dalam negeri yang semakin meredup akhir -- akhir ini. Pasaran kerja belum mampu menampung dengan semakin massifnya gelombang sarjana yang jumlahnya semakin tinggi.

Tingginya angka partisipasi masyarakat untuk menempuh pendidikan di tingkat sarjana ternyata tidak diimbangi dengan kebutuhan pasaran kerja. Meredupanya pertumbuhan industri disebabkan daya beli masyarakat yang juga semakin melemah, pada akhirnya daya serap tenaga kerja di industri menjadi semakin dibatasi . Fenomena kebangkutan beberapa industri di dalam negeri mengakibatkan semakin menambah jumlah pengangguran kita yang pada akhirnya berdampak kepada  kondisi "inflasi sarjana pengangguran".

Bagi penyelenggara pendidikan tinggi, hal ini juga menjadi "tamparan keras" agar anak didiknya mampu memiliki "skillfull" yang mampu terserap di dunia kerja dan industri. Hal lainnya yang juga menjadi tantangan bagi penyelenggara pendidikan tinggi adalah bagaimana mampu mencetak para entrepreneur yang tangguh. Para lulusannya tidak hanya dicetak sebagai "job seeker", melainkan harus juga dicetak sebagai entrepreneur yang tangguh. Artinya kurikulum perguruan tinggi harus diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan pasar. Paradigma tentang lulusan perguruan tinggi yang selama ini dicetak sebagai seorang generalis sudah mulai berubah kearah seorang sarjana yang specialist yang juga menguasai beberapa keilmuwan lainnya yang relevan (inter-disipliner). Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan pekerjaan di dunia kerja, serta kemampuan problem solving menjadi keahlian yang sangat penting bagi para sarjana terdidik kita saat ini.

Program magang di industri dan beberapa dunia kerja merupakan bagian yang sangat penting dalam kurikulum perguruan tinggi sesuai dengan keilmuwannya masing -- masing. Seringkali para sarjana yang baru lulus  kita masih kelihatan bingung menghadapi lingkungan kerja dengan segala tantangan dan permasalahan yang harus dipecahkan. Mereka tidak dihadapkan kepada persoalan teoritis yang selama ini dipelajari di bangku kuliah, melainkan mereka dihadapkan kepada permasalahan riil yang dihadapi perusahaan yang harus diselesaikan secara cepat untuk memberikan kontribusi terhadap produktivitas organisasinya. Sekedar sebuah wacana, program magang di industri atau dunia kerja setidaknya diwajibkan bagi para mahasiswa selama dua semester atau satu tahun dan dapat dimulai pada semester lima atau enam ke atas.

Di samping program magang yang diperkuat, maka kurikulum yang berorientasi kepada kemampuan entrepreneur juga perlu diperkuat dalam kurikulum perguruan tinggi. Meskipun para sarjana dididik untuk menjadi spesialis di bidangnya, namun kemampuan dalam bidang entrepreneur ini menjadi sebuah tuntutan sebagai sebuah keniscayaan. Kemampuan entrepreneur bukan lagi  milik jurusan ekonomi dan bisnis saja, melainkan juga sangat berkorelasi dengan jurusan dan keilmuwan lainnya. Kemampuan entrepreneur yang tangguh outputnya tidak hanya menjadi pekerja atau pegawai yang hanya menggantungkan diri kepada seberapa besar lowongan pekerjaan dibuka untuk dirinya, melainkan bisnis apa yang bisa mereka lakukan, bagaimana mengelola modal seperti modal dana, SDM, serta modal -- modal lainnya layaknya seorang pebisnis dan pengusaha di bidangnya masing -- masing.

Solusi Strategis

Mengatasi masalah sarjana pengangguran ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan semua pihak bertanggung jawab mengatasinya. Bonus demografi yang selama ini kita idam -- idamkan tidak akan tercapai dan hanya akan menjadi mimpi belaka apabila tidak dikelola dengan baik. Kalangan terdidik yang tidak mampu dikelola dengan baik tidak akan menjadi bonus demografi, melainkan hanya akan menjadi "malapetaka demografi" bagi negara kita. Bonus demografi bukan sekedar jumlah, melainkan sangat berhubungan dengan kualitas dan skills para anak -- anak muda kita itu. Lembaga pendidikan tinggi tidak diharapkan hanya akan memproduksi para sarjana pengangguran, melainkan mampu memproduksi sarjana yang benar -- benar produktif baik sebagai pekerja maupun sebagai entrepreneur sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun