Mohon tunggu...
Agus Samsudrajat S
Agus Samsudrajat S Mohon Tunggu... Dosen - Membuat Tapak Jejak Dengan Berpijak Secara Bijak Dimanapun Kaki Beranjak. http://agus34drajat.wordpress.com/

Public Health, Epidemiologi, Kebijakan Kesehatan @Wilayah Timur Khatulistiwa Tapal Batas Indonesia-Malaysia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kebijakan "New Normal", Apakah Untuk Kesehatan Juga?

29 Mei 2020   11:23 Diperbarui: 29 Mei 2020   11:46 952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proporsi Anggaran Kesehatan Kemkes via Bappenas 2020

Saat ini beberapa negara terjangkit Covid-19 sudah mulai menerapkan hidup normal baru dengan istilah “New Normal” terutama untuk negara yang sudah menunjukan penurunan kasus. Indonesia pun tak mau ketinggalan meskipun penurunan kasus baru secara nasional sampai 28 mei 2020 belum terlihat konsisten selama 14 hari atau 2-3 kali 14 hari sesuai masa rata-rata masa inkubasi virus. Bahkan beberapa Daerah ada yang baru memulai menemukan kasus baru dan masih stabil.

Secara Nasional hingga 28 mei kasus Indonesia masih saja stabil diangka 600 an kasus baru per hari sejak 2 maret kasus pertama di Indonesia bahkan masih dibulan Mei 2 kali hampir menyentuh 1000 kasus kasus baru per hari.Lamanya masa tunggu hasil Laboratorium PCR 2-3 minggu bahkan kurang lebih 1 bulan untuk daerah diluar provinsi dan pulau ternyata belum menggerakan pemerintah untuk membuat “new normal” pada bidang kesehatan. Hal ini menjadi sebab naik turunya kasus setiap hari, selain jangkauan cakupan dan ketepatan rapid dan uji swab. Kemampuan ketersediaan sarana kesehatan terbatas sehingga kinerja dan hasilnya pun terbatas.

Sedikitnya 137 Laboratorium uij swab atau Polymerase chain reaction (PCR) dan sebagian besar kebutuhan tenaga kesehatan di Puskesmas yang ada belum mampu memenuhi standar minimal di semua Provinsi yang memiliki 514 Kabupaten/Kota yang luasnya melebihi sebuah negara seperti Brunei, Singapura, Cuba, dan berbagai negara kecil lainya. Termasuk sistem surveilans puskesmas sebagai garda terdepan dalam melakukan pencarian, pengawasan, dan kontrol kesehatan sebelum dipilih untuk diambil sampel cek laboratorium dan sebelum dirawat atau dikarantina belum menjadi perhatian yang tampak dalam upaya “New Normal” yang dipublikasikan diberbagai media.

Selain perbedaan jumlah kematian dan kasus, Jumlah cakupan Rapid test dan swab yang jauh dari Turki, India, Australia, dan Amerika yang sudah mampu menguji hingga jutaan sampel sangat berbeda dengan yang dilakukan di Indonesia yang baru menguji 289 ribu an per 28 mei 2020. Apalagi dari 11.495 spesimen yang diuji hasilnya 5.793 nya positif. Artinya tingkat positif per 29 mei 2020 mencapai 50,4 persen dari sampel yang diperiksa uji PCR.

Disisi lain beberapa negara punya lembaga mandiri yang khusus dan fokus pada pengendalian dan pencegahan penyakit (promotif dan preventif) tapi Negara kita memilih cara lain dan cara lama baik sumber daya manusia, anggaran maupun sarana pendukungnya. Meskipun Indonesia sudah lama memiliki konsep “New Normal’ bidang kesehatan sejak 1945 hingga yang terbaru konsep itu masih membekas dan  tertuang dalam dokumen ilmiah para peneliti/akademisi, Bappenas, RPJMN 2020-2024 sebelum kita kedatangan Covid-19.

“New Normal” akan sangat beresiko jika kasus Covid 19 belum menurun dan hanya nekat tanpa upaya persiapan sumber daya dan fasilitas pendukung. Belajar dari sejarah beberapa wabah mematikan didunia, gelombang 2 dan 3 sangatlah mungkin, bahkan jutaan korban kematian akibat wabah Kolera dan Flu Spanyol bisa kita jadikan cerminan.

New Normal bidang kesehatan sebaiknya diarahkan untuk penguatan sistem kesehatan masyarakat baik nasional maupun daerah. Mulai dari anggaran, sumber daya, hingga sarana prasarana. UU 6/2018 tentang Karantina Kesehatan yang sudah punya denda hukuman ratusan juta dan penjara 1 tahun bagi pelanggar kedaruratan kesehatan masyarakat ternyata hanya pelengkap manis administrasi saja dan belum mampu diterapkan termasuk untuk kasus Covid 19 ini.

Bahkan “new normal” ini dibuka ditengah-tengah para tokoh masyarakat dan tokoh penegak hukum yang justru tidak mengindahkan himbuan, ikut melanggar protokol kesehatan dan mengajak masyarakat untuk ikut dengan keyakinan dan penafsiran tanpa adanya rujukan data kesehatan. Ajakan untuk menolak Rapid Test dikalangan tokoh masyarakat yang juga ASN/PNS adalah ulah PKI, membenturkan kebijakan pemerintah dan kepentingan agama yang menyebar liar tak terkendali menjadi contoh buram gambaran new normal dikalangan pemerintah saat ini. Lalu apa tindakan tegas untuk mengontrol perusak dan provokator “new normal” itu? Hal itu menjadi kebingungan generasi milenial terlebih anak-anak untuk mencari teladan dalam menyikapi masalah.

Jangan sampai “new normal” ini akan berubah status menjadi kesakitan dan Kematian baru yang lebih besar akibat Covid 19 yang akan dianggap normal, wajar dan biasa. Sebagaimana indonesia terbiasa terjajah orang maupun penyakit selama ratusan tahun sebelum kita merdeka 1945. Kita terbiasa hidup dengan berbagai masalah kesehatan maupun kondisi masalah gizi yaitu sepertiga anak Indonesia mengalami masalah gizi kurang stunting. Sebagian warga mengalami obesitas dan kegemukan disamping masih terbiasanya kita hidup dengan hasil gaya hidup yang kurang sehat seperti Kanker, stroke, Hipertensi, Diabetes, Gagal Ginjal Masalah Jantung, TBC, HIV, Malaria, DBD, dan penyakit sejenis lainya.

Perlu menjadi perhatian kita bersama bahwa pernyataan resmi yang masih hangat diatas kertas produksi Bappenas yang berjudul “Bedah Anggaran Kesehatan” Mei 2020 ini menyebutkan bahwa anggaran pemerintah dibidang kesehatan selama ini masih dominan kearah pengobatan atau kuratif, bukan pada upaya menjaga kesehatan dan pencegahan (promotif dan preventif) baik nasional maupun daerah. Pelayanan Kuratif 3 tahun terakhir memakan porsi hingga 76,6% sedangkan upaya promotif dan preventif untuk menjaga kesehatan dan pencegahan hanya 18,6%, 0,1 % untuk rehabilitatif dan 4,6% untuk administrasi dan sistem kesehatan.  

Dokumen lain Bappenas 2020 juga mengatakan bahwa sebagian besar atau 78% daerah di Indonesia memiliki kelengkapan alat di Puskesmas di bawah 50%. Sedangkan Analisis pada bidang prasarana menunjukkan bahwa 75% kabupaten/kota di Indonesia memiliki kelengkapan prasarana Puskesmas dibawah 50%.

Padahal amanat UU 36/2009 tentang Kesehatan pasal 171 ayat 3 sudah memberikan arahan bahwa untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas anggaran kesehatan perlu diutamakan untuk fungsi layanan promotif dan preventif. Faktanya mulai tahun 2010-2017 proporsi anggaran kesehatan untuk promotif dan preventif cenderung menurun meskipun angka nominalnya meningkat. Hal ini sangat serasi sekaligus menjadi jawaban kenapa RPJMN 2020-2024 pemerintah saat ini telah menetapkan bahwa tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, analis laboratorium medik, tenaga kesling dan farmasi menjadi prioritas. Karena tenaga kesehatan tersebut yang paling banyak diabaikan dan paling banyak mengalami kekurangan dalam pemenuhan layanan promotif dan preventif.

Disisi lain keseriusan pemerintah dibeberapa daerah melalui gugus tugas penanggulangan Covid 19 masih gengsi dan belum mau mengajak para akademisi. Termasuk belum dilibatkanya akademisi yang konsen kepada pelayanan promotif dan preventif yaitu program studi ilmu kesehatan masyarakat untuk ikut menyelesaikan persoalan kesehatan publik didaerahnya. Dari sekitar 200 an prodi kesehatan masyarakat yang terdaftar dan tersebar hampir disemua Provinsi Indonesia, saya yakin hanya hitungan jari pemerintah daerah yang mau melibatkan akademisi Ilmu Kesehatan Masyarakat. Padahal pedoman yang dibuat dan ada dilaman resmi tim gugus nasional covid 19 sudah meminta untuk mengajak dan melibatkan akademisi dalam upaya penanggulangan dan pencegahan Covid-19.

Hal tersebut bisa menjadi takaran, sejauh apa keseriusan dan kesiapan kita mencoba “New Normal” untuk sosial. Padahal disisi kesehatan dan pendidikan sedang dalam keadaan tidak normal. Apakah ekonomi kita bisa tumbuh positif jika sisi kesehatan dan pendidikan kita selama ini masih abnormal, minus atau negatif? lalu seberapa kuat upaya normalisasi sisi kesehatan itu?

Jika kita sudah tahu lobang sisi kesehatan, maka kita harus punya prioritas  dan harus mampu menutup lobang-lobang masalah itu. Selama ini seakan yang terjdi adalah membiarkan lobang utama dan prioritas. Dengan kata lain selama ini memilih lobang yang tidak dalam dan tidak prioritas, atau yang lobangnya sudah tertutup tapi ditutup terus hingga menggunung dibeberapa titik. 

Ibarat jalan raya dengan lobang yang dalam belum tertutup disisi lain ada bekas lobang tetapi tertutup dengan tidak rata atau menggunung Alhasil terjadilah jalan tidak rata, tidak mulus dan bergelombang dibeberapa titik yang akhirnya bisa mengakibatkan bahaya dan kecelakaan para pengguna jalan.

Jangan sampai keinginan new normal kita disatu sisi membuat ab normal dan kesenjangan yang tinggi disisi lain yang akan berdampak buruk pada semua sisi. Atau maunya serba instan, ambil jalan pintas dan potong jalan tapi mengambil porsi untuk menambal sisi lobang kesehatan dan sisi lobang pendidikan yang masih jauh dalam keadaan normal sesuai standar dan pedoman yang telah ditetapkan dan disepakati sendiri.

Tidak bosan-bosanya saya mengingatkan dan mengajak semua pihak untuk memperbaiki dan memperbarui sistem kesehatan masyarakat kita. Meskipun kawan-kawan daerah baik akademisi maupun organisasi profesi seperti PERSAKMI di sebagian daerah sudah berupaya mencoba menambal dibeberapa titik sesuai konsep "new normal' bidang kesehatan melalui program pemberdayaan tenaga kesehatan masyarakat seperti sahabat desa, desa sedaya, tenaga surveilans kesehatan desa/keluarahan tetapi hingga kini belum mampu menutup sebagian besar lobang kesehatan itu.

Semoga pilihan penentu kebijakan tidak melenceng jauh dari rencana dan masalah, mau koloborasi dan melibatkan semua pihak dalam menyelesaikan masalah pandemi maupun menjaga sisi kesehatan untuk jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun