Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku tema-tema pengembangan potensi diri

Buku baru saya: GOD | Novel baru saya: DEWA RUCI | Menulis bagi saya merupakan perjalanan mengukir sejarah yang akan diwariskan tanpa pernah punah. Profil lengkap saya di http://ruangdiri.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Monarki – Merapi – Maridjan

2 Desember 2010   05:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:06 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1291266583441235568

Buku Sri Sultan HB IX yang berjudul TAHTA UNTUK RAKYAT, adalah sebuah gambaran monarki cultural, bukan monarki absolute. Beberapa kisah dalam buku tersebut sangat meng-isnpirasi untuk kita renungkan.

Ada kisah yang dituturkan oleh S.K Trimurti ( wartawan senior ) yang menyaksikan pingsannya seorang pedagang di pasar Bringharjo:

Seorang pedangan beras yang rumahnya di daerah kaliurang, terbiasa menghentikan kendaraan untuk menumpang kearah pasar Bringharjo. Setelah kendaraan JIP berhenti, maka pedagang tersebut meminta si sopir untuk menaikkan karung-karung beras, demikian juga ketika sampai di pasar Bringharjo sopir itu kembali menurungkna karung-karung beras tersebut.

Seperti biasanya maka pedagang tersebut memberikan uang tumpangan kepada sopir. Namun uang tersebut ditolak dengan halus oleh sopir tersebut sambil masuk dan menjalankan mobil kearah selatan.

Pedagang tersebut masih marah-marah dan mengira bahwa uangnya kurang, bahwa sopir tadi ingin dibayar lebih karena tumpangannya itu.

Seorang penjaga pasar yang melihat pedagang itu masih marah-marah bertanya padanya, “Mbakyu, apakah mbakyu tau siapa sopir tadi?”

“Sopir ya sopir, habis perkara! Saya nggak perlu tahu namanya! Sopir aneh!”

Penjaga itu bilang lagi, “Kalo mbakyu belum tahu, akan saya kasih tahu, bahwa sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja Ngayogyakarto hadiningrat”

Seketika itu juga pedagang tersebut pingsan!

Ny. Rahmi Hatta – istri M. Hatta, wapres saat itu juga menuturkan dalam buku tersebut, bahwa pada saat ibu kota pindah ke Yogyakarta, Sri Sultan HB IX menggaji seluruh kabinet termasuk presiden dan wakilnya saat itu.

Apabila kekuasaan Yogyakarta adalah Monarki absolute, maka kisah dalam buku Tahta Untuk Rakyat yang ditulis ini akan menjadi lain:

Pada saat Agresi Militer Belanda di Yogyakarta, Sultan berunding dengan Belanda diwakili adiknya Pangeran Bintoro (kemudian menjadi Anggota BPUPKI) dan pada perundingan tersebut Sultan diminta tidak ikut campur masalah Republik Indonesia dan Belanda (untuk menjadi ibukota) dan sebagai imbalannya diberikanlah kekuasaan atas tanah bekas Kraton Mataram meliputi Kedu, Solo, Madiun, Kediri, Banyumas.

Pada perundingan pertama gagal, akhirnya pada perundingan ke-2 ditambahkanlah imbalan kekuasaan meliputi Jawa tengah, Jawa Timur dan Madura. Untuk inipun Sultan tidak mau menerimanya.

Monarki Cultural adalah mempertahankan sebuah budaya yang dapat menyanggga sebuah persatuan dan kesatuan. Mengikat tali emosioanal untuk kemajuan bersama.

Apakah seseorang tetap bersikukuh untuk menghilangkan monarki ( walau hanya cultural ) di Indonesia dengan mengatas-namakan demokrasi?

Demokrasi yang mana?

Apakah ada demokrasi yang di-import dari luar sana yang cocok untuk Indonesia? Kita mempunyai susunan unik baik itu geografis, etnik dan cultur. Dan Indonesia harus mempunyai Demokrasi Nusantara yang pilar-pilarnya telah diletakkan oleh Mpu Tantular dalam Negara Kertagama.

Dalam hal Demokrasi, tentunya Kasultanan Yogya dapat dijadikan contoh, dimana system kerajaan yang ada bukanlah sebuah ke-absolutan, namun hanya symbol kerakyatan yang dapat memperkuat tali emosi dalam membangun kebersamaan.

MERAPI juga telah mengabarkan lebih dulu tentang sebuah kewaspadaan. Ketika keseimbangan alam telah digoncang oleh para penghuninya, maka Merapi akan menyimbangkan dirinya sendiri. Keseimbangan yang dicapai Merapi nantinya tentu saja akan memberikan kesuburan dan kehidupan yang baru kepada penduduk, setelah Merapi melakukan pembersihan untuk menyisakan orang-orang yang memang pantas untuk merawatnya.

Mbah Maridjan adalah juga salah satu kabar dari alam, bahwa kemewahan, pengejaran berita, ketenaran, keberlimpahan, bukanlah tujuan hidupnya. Ia sedang memberikan sebuah contoh kesederhanaan kepemimpinan. Pemimpin yang berbaur dengan rakyat, pemimpin yang sederhana dan pemimpin yang rela mati di dalam perjuangan untuk kemakmuran

MONARKI – MERAPI – MARIDJAN, adalah bukan keabsolutan. Ketiganya hanyalah symbol sebuah budaya yang adiluhung. Sebuah ‘soko guru’ bagi perkembangan kemajuan. Ia akan tetap ada dan dibiarkan tetap ada untuk menjaga kesimbangan.

Hanyalah orang-orang picik dan merasa modern saja yang mencoba menghilangkah symbol-simbol bahasa budaya yang istimewa tersebut, yang ternyata bahwa simbol-simbol tersebut dapat mengalahkan segala macam teori yang kadangkala disusupi ego kekuasaan.

Akankah Yogyakarta tetap menjadi daerah istimewa di Nusantara ini?

Pertanyaan tersebut akan kita jawab dengan sebuah pertanyaan refleksi : apa yang dapat kita banggakan di mata dunia, apabila semua daerah Nusantara adalah biasa-biasa saja? Bukankah keistimewaan atau tidak istimewa hanyalah sebuah keyakinan kita akan sebuah nilai yang dapat menjadikan kita berharga?

Bagi saya, saya akan bangga dan dengan lantang mengatakan kepada dunia bahwa Nusantara mempunyai daerah istimewa dengan Monarki Culture-nya, yang memberikan pelajaran tentang kerendah-hatian seorang pemimpin untuk kemakmuran rakyatnya.

Salam cerdas Indonesia

Agung webe

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun