Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... wellness coach

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Garuda Mencoba Bangkit, Namun Apakah Akan Kembali Jatuh Oleh Tangannya Sendiri?

14 Oktober 2025   01:29 Diperbarui: 14 Oktober 2025   01:29 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Direktur Utama Garuda | Sumber Youtube Rhenald Kasali

Sebuah Catatan untuk Wamildan dan Semua yang Pernah Naik Pesawat Ini.

Dalam wawancara dengan Rhenald Kasali, Wamildan menegaskan pentingnya dukungan pemerintah dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Itu benar bahwa Garuda tidak bisa berjalan sendirian. Tapi terlalu banyak ketergantungan pada intervensi politik justru menggerogoti independensi. Kita sudah melihat bagaimana keputusan bisnis sering diwarnai pertimbangan non-ekonomis, seperti pembukaan rute demi gengsi, proyek demi kepentingan birokrat.

Jika "kebangkitan" Garuda kembali digiring oleh kepentingan politis, maka publik akan tahu bahwa yang bangkit bukan kesadaran internal maskapai, melainkan drama lama dengan aktor baru.

Seharusnya sadar bahwa pelanggan bukan obyek belas kasihan, tapi sumber kepercayaan. Sadar bahwa efisiensi tanpa hati akan membuat pelayanan kehilangan jiwa. Sadar bahwa Garuda bukan sekadar bisnis penerbangan, tapi simbol kebanggaan yang menuntut integritas lebih tinggi dari sekadar laba.

Wamildan kini berdiri di persimpangan paling rapuh. Persimpangan antara efisiensi dan erosi kualitas, antara janji baru dan luka lama. Setiap langkahnya akan menentukan apakah Garuda benar-benar bisa terbang lebih tinggi atau kembali jatuh di awan yang sama.

Efisiensi memang bisa menyelamatkan angka, tapi hanya empati yang bisa menyelamatkan kepercayaan. Dan Garuda tidak butuh direktur yang sekadar pandai merapikan laporan keuangan. Garuda butuh pemimpin yang mau mendengar suara lelah dari kursi penumpang belakang, dari teknisi yang bergadang di hangar, dari kru yang menahan senyum di tengah tekanan jadwal.

Ada kalimat yang terus terngiang di kepala setiap kali kita bicara tentang Garuda Indonesia: "flag carrier kebanggaan bangsa." Tapi kebanggaan itu kini terasa seperti pakaian yang sudah terlalu sering dicuci. Pakaian yang masih dikenakan, tapi warnanya pudar, benangnya mulai longgar. Di setiap kabin, terselip satu perasaan yang sama, yaitu lelah.

Lelah menunggu janji perbaikan. Lelah melihat perubahan yang tak pernah menyentuh akar. Lelah membayar lebih untuk pelayanan yang semakin menurun.

Kini di bawah Wamildan Sani Panjaitan, sebuah harapan baru kembali dihidupkan. Ia datang dengan semangat efisiensi, restrukturisasi, dan target ambisius untuk menyehatkan keuangan, menambah armada, dan merebut separuh pasar domestik. Visi yang terdengar berani, bahkan heroik. Tapi juga mengingatkan kita pada bab-bab lama dalam sejarah Garuda. Bab yang selalu dimulai dengan kata "transformasi," namun berakhir dengan laporan rugi, restrukturisasi utang, dan perasaan publik yang kembali kecewa.

Masalahnya bukan pada niat. Siapa pun yang duduk di kursi Direktur Utama tentu ingin memperbaiki. Tapi persoalan Garuda tidak pernah sekadar soal efisiensi atau ekspansi. Ia selalu tentang manusia di dalamnya. Ada penumpang yang dikecewakan, kru yang kelelahan, mekanik yang bekerja dengan sumber daya terbatas, dan budaya korporat yang kehilangan jiwanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun