Ada tradisi  menarik lima tahunan yang kita punya yaitu pemilihan umum. Baik pemilihan presiden maupun pemilihan legislatif, atau pula pemilihan kepala daerah. Hasil akhirnya adalah salah satu ada yang menang dan yang kalah. Lalu ada tradisi, jika yang kalah, mereka akan menuding bahwa pihak lain sebagai pemain yang curang.
Tradisi itu dianggap biasa karena hal itu dianggap biasa dalam suatu kontestasi, ada yang menang dan ada yang kalah. Tuduhan curang juga bisa dibuktikan melalui mekanisme hukum yang bisa ditempuh oleh masing-masing kontestasi itu.
Fenomena pengerahan massa juga sering terjadi. Kita bisa melihat aksi demonstrasi  yang terjadi pada Senin (19/2/2024).  Saat itu ada sekelompok massa melakukan aksi di depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mereka meminta pihak KPU untuk memperbaiki Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap)KPU. Aksi itu juga mengungkapkan bahwa mereka meminta KPU untuk tidak berlaku curang.
Mereka juga mengambil sikap politis yaitu  mereka juga meminta Komisi II untuk memeriksa KPU RI dan menindaklanjuti dugaan adanya kecurangan dalam Pemilu kali ini. Akan tetapi, tuduhan kecurangan tersebut tak diturut sertakan data atau bukti yang valid. Pada saat yang sama, di seberang jalan depan kantor KPU ada pula demonstran yang menamakan diri Aliansi Mahasiswa Jaga Indonesia. Mereka mendukung KPU untuk melanjutkan Pemilu yang sedang berjalan tak tidak takut dengan intimidasi.
Ini yang saya katakan sebagai tradisi lima tahunan dan semua menganggap itu semua biasa saja. Tuduhan curang dari yang kalah ke yang menang dan lain sebagainya. Seperti pemilu lalu, satu calon yang kalah mengajukan kasus kecurangan itu ke tingkat pengadilan.
Hanya saja sebenarnya, setelah semuanya berakhir, seharusnya semuanya harus sportif, menerima apapun hasilnya. Karena apapun hasilnya, itu adalah pilihan rakyat. Tingkat kecurangan tidak akan bisa menutup hasil akhir. Inilah yang harus kita hargai.
Dengan menerima apapun hasil dengan sportif, kita bisa melanjutkan apa yang menjadi tugas kita dengan tenang dan baik. Tradisi lima tahunan yang mirip "gempa bumi" seharusnya tidak lagi perlu dihebohkan pada masa-masa setelah 20 reformasi. Kita harus memperkuat persaudaraan kebangsan dan kemanusiaan demi Indonesia yang damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H