Soal kecewa dikacangin DPR dengan cuma 2 dari 50 respon positif yang diharapkan jelas manusiawi. Namun mengekspresikannya secara spontan di depan publik tentu tidak tepat karena persoalan beda persepsi dan irama kerja bisa saja terjadi sehingga pihak lain dapat memberikan reaksi yang lebih buruk.
Lingkungan kerja seorang menteri sendiri sudah pasti lebih beragam dari berbagai strata, baik vertikal maupun horizontal. Ada DPR, presiden, menteri koordinator, sesama menteri, jajaran pejabat kementerian sendiri, dan pihak eksternal lain. Tanpa pengelolaan relasi yang baik harmoni kerja akan sulit tercapai.
Ketidaksinkronan frekuensi atau irama kerja pada gilirannya hanya akan menimbulkan ketidaknyamanan yang menggerogoti produktivitas. Waktu pun bisa habis hanya untuk mengurusi problem-problem turunan yang mestinya bisa dihindari sejak awal.
Langkah Sandi merekrut Dino Patti Jalal sebagai penasehat --atau sebagai mentor-- bolehlah jadi katalis untuk beradaptasi dengan lingkungan eksekutif yang dinamis. Sementara menteri lain sudah setahun lebih belajar di kelas, Sandi masuk belakangan dan tertinggal banyak pelajaran.
Akan tetapi hal-hal yang sifatnya pembawaan tidak bisa tercover oleh bimbingan atau arahan dari seorang penasehat yang lebih menyangkut aspek teknis dan kognitif. Dorongan hasrat dari dalam, gejolak emosi, kecewa, dan muara ekspresinya yang ditampilkan sebagai wajah publik di sisi lain berada dalam kuasa otoritas pribadi yang tak tersentuh.
Sandi agaknya perlu menambah margin waktu respon dalam mengelola penampilan publiknya. Mengurangi bermain medsos dan tak terburu-buru mengharapkan hasil bisa menjadi awal yang baik. Pahami dulu situasinya dan baru kemudian membuat kesimpulan dan reaksi adaptif.***