Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Unicorn Kelima Indonesia Bukan dari Bidang Pendidikan, Ini Sebabnya

19 Oktober 2019   00:01 Diperbarui: 19 Oktober 2019   01:13 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi OVO (katadata.co.id).

Setelah Indonesia punya 4, prediksi dan harapan banyak pihak adalah akan muncul unicorn kelima akhir tahun ini; kalau tidak dari bidang kesehatan kemungkinan adalah bidang pendidikan.

Ternyata yang ditunggu-tunggu, yang lahir awal bulan Oktober  ini, bukan berasal dari keduanya.

Startup  unggulan terbaru itu bergerak di bidang keuangan atau fintech.  OVO namanya.

Rintisan yang dibesut Lippo Group ini berupa platform pembayaran digital yang berafiliasi dengan Grab dan juga  menjadi aplikasi e-wallet tersendiri. Valuasinya sudah mencapai USD 2,9 miliar. Sekitar Rp 41 triliun. Jauh di atas syarat status unicorn yang USD 1 miliar itu.

Layanan sejenis yaitu Linkaja, milik pemerintah, tertinggal di belakang. Mungkin karena terlalu banyak pertimbangan atau kekhawatiran para stakeholder sehingga kalah cepat.

Menkominfo Rudiantara tentang OVO (kompas.com, 7/10/2019):

 "Saya sudah bicara dengan founder-nya, dan memang iya (sudah jadi unicorn). Makanya saya berani bicara setelah saya konfirmasi."

Mengapa bidang pendidikan dan kesehatan ternyata belum juga melahirkan startup unicorn?

Alasan utamanya adalah karena pendidikan dan kesehatan merupakan bidang yang sangat kompleks. Banyak faktor terlibat dalam proses pemenuhan kebutuhan atau harapan pengguna jasanya.

Mari kita bandingkan. 

Coba Anda buka aplikasi Gojek. Pertanyaan yang muncul di muka, "Mau ke mana hari ini?". Jelas.

Jawaban yang diharapkan pun harus berupa alamat yang dikenali sistem atau titik pada peta yang tersedia. Tidak bisa kita jawab dengan pertanyaan balik, misalnya "Menurut Lo, gue harus ke mana hari ini?". Sistem tidak akan merespon jawaban di luar alternatif yang telah ditentukan.

Layanan Traveloka, Bukalapak, Tokopedia juga sama.

Parameternya jelas, bendanya nyata. Anda butuh apa, yang seperti apa; bendanya bisa dilihat, kongkrit.

Tapi pendidikan dan kesehatan banyak bersinggungan dengan hal-hal yang abstrak. Setiap kasus memiliki keunikan dan spesifikasi khusus yang tidak mungkin digeneralisir.

Misalnya orangtua butuh solusi karena nilai anaknya  jelek. Tidak bisa langsung dijawab: "Anak Anda harus baca buku ini!" ; atau "Anak Anda harus belajar lebih rajin". Tidak bisa atau belum tentu begitu.

Bagaimana kalau masalahnya karena si anak tidak suka dengan lingkungan sekolah tempat ia belajar? Beda solusinya.

Demikian juga masalah kesehatan. Misal, seseorang mengeluh sakit kepala, butuh obat.

Meskipun deskripsi keluhannya jelas, dokter tetap memerlukan data obyektif pendukung untuk memberikan diagnosa yang tepat. Tekanan darah, pola makan, usia, aktivitas harian, dan lain-lain.

Perlu interaksi tatap muka sebab bisa saja pasien tidak jujur atau tidak mampu memberi penjelasan sesuai informasi yang dibutuhkan dokter. Berbekal info dan data yang tepat dokter dapat menulis resep yang tepat pula. Beda pasien bisa beda obat walaupun keluhannya sama.

Kalau sekadar meredakan, orang awam juga tahu jawabannya. Banyak obat sakit kepala dijual bebas di pasaran.

Secara khusus dalam kesempatan ini akan kita bahas bidang pendidikan saja, terutama pendidikan sekolah.

Dahulu jika siswa menemui kesukaran, mereka akan  bertanya atau berdiskusi sesama temannya. Yang ikut les bisa bertanya pada tutornya.

Sekarang kesukaran itu berkurang karena ada sumber belajar lain yang bisa diakses.

Membuka website, solusi online tersedia.  Aplikasi belajar juga banyak.  Tersedia gratis sebagian, sementara materi sisanya dapat dipelajari setelah membayar  hak akses sejumlah nominal tertentu. Ada pula yang berperan sebagai marketplace yang mempertemukan tutor dengan siswa.

Beberapa  startup asal Indonesia sudah mencoba peruntungan dengan membuat aplikasi sebagai media belajar alternatif.  Ada Ruangguru, Mejakita, Onmaca, atau Zenius. Mereka bersaing dengan layanan sejenis yang berasal dari luar negeri.

Selain dari sekolah, bimbingan belajar (offline), les, video di Youtube atau blog; siswa juga dapat belajar lewat  aplikasi tersebut.

Sayangnya aplikasi itu kebanyakan hanya memindahkan materi belajar dari papan tulis sekolah atau buku ke dalam konten aplikasi. Materi yang, kadang-kadang terlalu general, kadang-kadang terlalu spesifik.

Apa sebab hingga hal itu terjadi? Persoalan salah satunya adalah ukuran aplikasi. Jika materi atau layanan belajar dibuat "terlalu" lengkap maka aplikasi menjadi  berat dan size-nya membengkak. Tidak ramah install di smartphone konsumen.

Hal tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan layanan pihak ketiga, cloud computing. Tetapi layanan ini cukup mahal, sementara  neraca pemasukan dan pengeluaran juga harus dipertimbangkan.

Selain kendala teknis, startup  pendidikan juga harus bergelut dengan standar konten dan metode penyampaian.

Penyusunan materi pelajaran itu memerlukan diskusi pembahasan yang kontinyu dari beberapa narasumber tetap. Masalah muncul jika tim penyusun berganti-ganti.  Hal yang lumrah di dunia startup.

Cara menyampaikan  materi juga kerap menjadi kesulitan tersendiri.

Dalam pelajaran yang sama kadang-kadang perlu beberapa pendekatan yang berbeda agar siswa dapat mengerti dengan mudah. Apalagi jika berbeda mata pelajaran.

Ada yang memerlukan infografik, sementara materi lain tidak. Ada yang butuh banyak contoh, ada pula yang butuh rumus cepat.

Dari sisi konsumen yaitu siswa, cara belajar mereka sendiri berbeda-beda.  Ada yang sangat tergantung pada catatan pribadi, ada yang terobsesi dengan ringkasan. Ada pula siswa yang justru menginginkan penjelasan serba rinci.

Alhasil, menemukan titik temu antara materi, metode, gaya belajar siswa, teknologi, dan skema biaya yang ekonomis menjadi  seperti  perburuan harta karun yang belum tuntas bagi setiap pelaku usaha rintisan ini. Tidak bisa tergesa-gesa.

Di sisi lain, bimbingan belajar dan sekolah itu sendiri bagi sekelompok siswa tetap menjadi rujukan utama dalam belajar. Aplikasi hanya sebagai pembanding saja. Belum lagi persaingan antar kompetitor sesama startup. Dampaknya bagi mereka, ceruk konsumen yang diraih pun semakin menyusut walau ada satu dua yang dominan.

Hal-hal seperti itu yang agaknya membuat investor masih bersikap wait and see sambil menunggu mana yang paling berpotensi.

Masih butuh waktu tambahan hingga akhirnya Indonesia memiliki unicorn berbasis layanan pendidikan.

Tapi satu hal yang pasti, pendidikan itu sendiri harus berjalan terus menuju  ideal; dengan atau tanpa unicorn . Jangan lupa, bidang pendidikan memiliki porsi yang besar dalam komposisi APBN kita. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun