Dari sisi konsumen yaitu siswa, cara belajar mereka sendiri berbeda-beda. Â Ada yang sangat tergantung pada catatan pribadi, ada yang terobsesi dengan ringkasan. Ada pula siswa yang justru menginginkan penjelasan serba rinci.
Alhasil, menemukan titik temu antara materi, metode, gaya belajar siswa, teknologi, dan skema biaya yang ekonomis menjadi  seperti  perburuan harta karun yang belum tuntas bagi setiap pelaku usaha rintisan ini. Tidak bisa tergesa-gesa.
Di sisi lain, bimbingan belajar dan sekolah itu sendiri bagi sekelompok siswa tetap menjadi rujukan utama dalam belajar. Aplikasi hanya sebagai pembanding saja. Belum lagi persaingan antar kompetitor sesama startup. Dampaknya bagi mereka, ceruk konsumen yang diraih pun semakin menyusut walau ada satu dua yang dominan.
Hal-hal seperti itu yang agaknya membuat investor masih bersikap wait and see sambil menunggu mana yang paling berpotensi.
Masih butuh waktu tambahan hingga akhirnya Indonesia memiliki unicorn berbasis layanan pendidikan.
Tapi satu hal yang pasti, pendidikan itu sendiri harus berjalan terus menuju  ideal; dengan atau tanpa unicorn . Jangan lupa, bidang pendidikan memiliki porsi yang besar dalam komposisi APBN kita. ***