Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelukan Jokowi-Prabowo, "Settingan" Tanpa Stuntman dalam Asian Games 2018

7 September 2018   05:45 Diperbarui: 7 September 2018   15:23 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanifan peraih medali emas cabor silat Asian Games 2018 memeluk Jokowi dan Prabowo (news.okezone.com).

Momentum kebersamaan Jokowi-Prabowo dalam satu pelukan bersama Hanifan di Padepokan Silat TMII bukanlah peristiwa biasa.

Kehadiran JK, Megawati, dan Puan adalah penanda settingan momentum yang digagas Syafruddin, Chief de Mission Asian Games 2018,  tersebut. Bukan perkara mudah mempertemukan orang-orang penting dalam satu acara tanpa urgensi dan kepentingan tertentu.

Beruntung peluang itu muncul ketika Indonesia sukses mendulang emas dari cabor silat Asian Games 2018. Prabowo adalah pembina dunia persilatan Indonesia, jadi ada cukup alasan Prabowo menjenguk ke padepokan di mana laga silat Asian Games digelar.

Cabor berkuda juga barangkali bisa dihadiri Prabowo, tetapi prestasinya tidak sebagus silat.

Peristiwa kehadiran Prabowo di antara orang-orang dari kubu pemerintahan saat ini bukanlah peristiwa baru.

Ada jejak cukup panjang yang menandai kolaborasi Prabowo dan Gerindra dengan kubu Jokowi dan partainya, PDIP. Beberapa persamaan kepentingan dari dua partai ini terlalu penting untuk diabaikan.

PDIP dan Gerindra adalah partai paling sukses dalam Pemilu 2014

Meskipun gagal meraih  kursi  kepresidenan, prestasi Gerindra sebenarnya cukup spektakuler. Dalam Pemilihan Legislatif, Gerindra bersama PDIP dan Nasdem adalah trio partai tersukses Pemilu 2014.

PDIP sukses menggeser Golkar dan menempati peringkat teratas perolehan suara dengan penambahan  15 kursi di DPR. Sedangkan Gerindra walaupun cukup puas dengan "medali perunggu" di urutan ketiga tetapi capaiannya luar biasa. Gerindra menambah jatah kursi di DPR sebanyak 47 kursi!

Akan halnya Nasdem, memang posisinya berada jauh di bawah PDIP dan Gerindra. Tetapi partai  milik Surya Paloh ini sukses menjalani debutnya dalam pemilu legislatif dengan menyabet 35 kursi di gedung kura-kura.

Siapakah yang terdegradasi di Pemilu 2014, penyumbang kursi bagi partai pemenang?

Ada tiga pula jumlahnya, partai yang  menderita kehilangan banyak kursi dalam pemilu legislatif empat tahun lalu. Mereka adalah Demokrat, PKS, dan Golkar, sesuai urutan tingkat kekalahan.

Demokrat mengalami pendarahan hebat dalam pemilu terakhir, bleeding.

Kendaraan petahana sebelum Jokowi ini harus merelakan 87 kursi DPR menjadi bancakan partai-partai lain. Dari 148 kursi yang diperoleh dalam pemilu sebelumnya, Demokrat hanya berhasil mempertahankan 61 kursi saja.

Siapa yang tidak perih 50% lebih kursi DPR hilang dalam sehari pencoblosan. 

Pantas SBY semangkin menghayati laku prihatinnya setelah  menjabat dua periode memerintah. 

SBY mengalami kekalahan ganda dari Megawati, kalah di legislatif dan kalah di eksekutif karena Demokrat tidak ikut mengusung Jokowi.

PKS setali tiga uang nasibnya dengan Demokrat.

Partai pelopor tagar ganti presiden ini kehilangan 17 kursi dalam pemilu legislatif periode kemarin. Memang tidak sedramatis partai mercy biru punya SBY. Dari 57 kursi DPR yang dikuasai sebelumnya, PKS masih punya sisa 40 di parlemen.

Bagaimana dengan Golkar?

Dalam Pemilu 2014 Golkar bermain aman, menang dan kalah sekaligus, jadinya impas.

Golkar "sukses" kembali ke istana dengan mengutus Jusuf Kalla menjadi wakil Jokowi dalam Pilpres 2014. Tetapi pilihan kebijakan partai untuk mengusung Prabowo bukan tanpa resiko. Suara legislatifnya  tergerus karena barangkali terbawa JK masuk ke kubu istana.

Beringin kuning harus kehilangan 15 kursi parlemen dan bertukar posisi di belakang  PDIP yang meraih kursi terbanyak.

Prestasi pemilu inilah yang menyatukan PDIP dan Gerindra dalam satu kepentingan untuk mempertahankan dominasi bersama dalam kancah perpolitikan Indonesia. Menjelang pesta demokrasi nanti keduanya harus merias diri semanis mungkin agar tidak ditinggalkan konstituen.

Indikator lainnya dari "kolaborasi terselubung" Gerindra-PDIP adalah pada saat Pilgub DKI. Bagaimana bisa?

Barangkali Anda masih ingat, Ahok sebelum diusung PDIP pernah menggagas wacana maju pilgub secara independen. Teman Ahok yang menjadi relawan Basuki T Purnama turun ke lapangan mengumpulkan sejuta tanda tangan dukungan untuk memenuhi syarat agar Ahok bisa maju tanpa parpol.

Alarm berbahaya bagi kepentingan bersama partai-partai politik yang akan berlaga di pemilu 2019.

Jika Ahok menang pilgub secara independen, maka preseden itu ada kemungkinan akan di-copy paste --seperti kata Rizieq Shihab-- dalam pilpres nanti. Artinya wacana kubu independen akan menguat di tanah air dan ini bisa berarti senjakala bagi partai politik.

Tidak kurang Ketum PDIP Megawati dan Jokowi sendiri yang mati-matian membujuk Ahok agar maju bersama PDIP. 

Ahok tidak mungkin maju pilgub  bersama Gerindra yang saat itu mepet ke jamaah Rizieq Shihab. Batu karang dari Belitung itu akhirnya luluh juga dibujuk Mega, Ahok bersama Djarot maju pilgub menggunakan tiket parpol.

Prabowo adalah "mantan" cawapres Megawati

Konon Puan Maharani putri Megawati punya channel komunikasi khusus ke Prabowo. Bukan sesuatu yang aneh karena sebelumnya Prabowo bersama Gerindra pernah berada satu kubu ketika Megawati-Prabowo maju Pilpres 2009.

Pilpres yang menyakitkan bagi Mega tersebab  ini adalah kali kedua kekalahannya melawan mantan anak buah sendiri, SBY. Bertahun-tahun Mega ngambek karena itu sejak Pilpres 2004 silam.

Meskipun kalah dalam Pilpres, Kongsi  PDIP-Gerindra kemudian berlanjut mengusung Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI 2012. Sukses besar, pasangan Jokowi-Ahok berhasil melenggang ke balai kota setelah menyisihkan 5 pasangan kandidat lain, termasuk petahana Fauzi Bowo.

Megawati dan Prabowo ketika maju Pilpres 2009 (jawapos.com).
Megawati dan Prabowo ketika maju Pilpres 2009 (jawapos.com).
Pasca Pilgub 2012 tampaknya koalisi PDIP-Gerindra mengalami keretakan dan akhirnya pecah menjelang  Pilpres 2014.

Prabowo yang sudah ngebet bertahun-tahun menahan hasrat berkuasa harus menghadapi kenyataan pahit.

Jokowi yang dijemputnya dari Surakarta ke ibukota ternyata berhasil meraup simpati warga dan  diwacanakan publik untuk maju pilpres. 

Bagi Megawati tentu sangat dilematis, apakah mengambil kesempatan menunggangi kuatnya dukungan publik agar Jokowi nyapres, ataukah meneruskan skenario awal, membantu Prabowo menapaki tangga istana. 

Sejarah berbicara, Ketum PDIP akhirnya memilih untuk mengusung petugas partainya sendiri daripada meneruskan persekutuan dengan Gerindra.

Sekarang giliran Prabowo yang muntab luar biasa menahan amarah. Jelas ada modus penikungan kawan seiring, batin penggemar kuda mahal ini.

Bagaimana kemarahan Prabowo dapat tergambarkan dengan baik saat periode kampanye pilpres waktu itu, bahkan hingga Pilgub DKI 2017 kemarin ketika PDIP mendukung Ahok, si anak hilang bagi partai Gerindra.

Serangkaian fitnah dan tuduhan keji, baik terhadap Jokowi maupun PDIP secara umum, dilancarkan beruntun terus menerus tanpa henti. Bahkan untuk mendukung konteks narasi kampanye negatif  tersebut Gerindra tidak segan melirik kelompok Islam garis keras yang buta politik.

Bagaimana mungkin mereka menuding kubu  PDIP pro komunis, sedang Prabowo sendiri dahulu mantan cawapres Mega? Hanya kelompok a-historis politik yang mampu berbuat demikian.

PDIP dan Gerindra adalah partai nasionalis

Walaupun corak konstituennya mungkin berbeda, tetapi sejatinya PDIP dan Gerindra adalah partai nasionalis.

Ketika kubu Gerindra akrab dengan kelompok 212 bukan berarti partai itu telah menjadi lebih Islami. Sama sekali tidak. Prabowo termasuk sosok yang pandai bikin ge er --gede rasa-- orang. Korbannya sudah banyak, dari La Nyala Mattalitti, Rizieq Shihab, hingga AHY.

Prabowo saat menghadiri ijtima ulama 2018 (okezone.com).
Prabowo saat menghadiri ijtima ulama 2018 (okezone.com).
La Nyalla di-pehapein saat Pilgub Jatim sedangkan Rizieq dan AHY kecele saat drama pemilihan cawapres pendamping Prabowo.

Demi meraih simpati, Prabowo khusyuk ketika hadir dalam ijtima ulama untuk menyimak  arahan  Rizieq dari Saudi. Tetapi nyatanya tak satu pun rekomendasi ijtima dipatuhi Prabowo. Baik Ustadz Abdul Somad maupun Salim Segaf Al Juffri dari PKS, alternatif cawapres yang disarankan Habib, semuanya urung  mendampingi Prabowo.

Demikian juga dengan Agus Harimurti penerus trah Cikeas, gagal memeluk kado cawapres yang sedianya akan menjadi hadiah penting pada pesta ulang tahunnya yang ke 40.

Prabowo akhirnya mengusung kader Gerindra sendiri untuk maju dalam perhelatan Pilpres 2019 nanti. 

Agar citra nasionalis  kembali muncul menarik simpati konstituen, Gerindra memilih mengambil Sandiaga Uno sebagai wakil Prabowo. Jika sosok capres  dengan brand  "The New Prabowo" nekad mengambil cawapres dari kubu Islam garis keras maka tidak  mustahil mereka akan ditinggalkan pemilih potensial yang moderat.

Begitu banyak persamaan PDIP dengan Gerindra sehingga terasa berlebihan jika kompetisi politik dalam pemilu harus menyerempet kepentingan bangsa yang jauh lebih besar.

Pelukan Jokowi-Prabowo di TMII telah memupus (sementara?) perseteruan dalam drama politik akhir-akhir ini. Keutuhan NKRI harus dijunjung tinggi diatas kepentingan sesaat dalam pesta demokrasi lima tahunan nanti. Manuver elit memang kadang suka bikin kaget, tapi bikin bodoh jangan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun