"Revitalisasi Karang Taruna adalah tentang memberi ruang bagi pemuda desa untuk melahirkan ide, menggerakkan perubahan, dan menanam warisan berkelanjutan bagi generasi berikutnya."
Revitalisasi Identitas Pemuda Desa di Era Pembangunan Berkelanjutan
Sejauh pengetahuan saya, kegiatan Karang Taruna di Desa masihlah terbatas. Masih berkutat pada acara 17 Agustusan, ada acara keagamaan, dan acara-acara yang diminta dari pemerintah daerah. Belum nampak inisitif yang berdampak dan berkelanjutan. Namun, entahlah bila itu yang terjadi di daerah lain. Biasanya, Karang Taruna yang maju adalah Karang Taruna yang punya tokohnya hebat dan pembaharu.Â
Dalam sebuah kesempatan, secara informal pernah saya berbincang-bincang dengan para aktivis Karang Taruna. Diskusinya seru, tapi ada satu pertanyaan yang membuat kami sama-sama memikirkan ulang pertanyaan ini :
"Apakah Karang Taruna masih relevan bagi generasi muda hari ini, atau justru perlu di-rebranding?"
Pertanyaan ini sederhana, tapi menyentuh inti persoalan. Di tengah arus digitalisasi, urbanisasi, dan tantangan pembangunan berkelanjutan, posisi Karang Taruna memang sedang diuji.
Karang Taruna: Nama dengan Sejarah Panjang
Sejak 1960, Karang Taruna berdiri sebagai wadah pemuda di tingkat desa/kelurahan. Identitasnya jelas: pemuda, gotong royong, dan pengabdian sosial. Ya, rasanya seperti itu. Tak kurang, dan tak lebih.
Bagi banyak desa, Karang Taruna sudah seperti "universitas kehidupan." Dari sinilah anak-anak muda belajar berorganisasi, mengadakan kegiatan sosial, hingga mengasah kepemimpinan. Tapi itu dulu. Sekarang auranya rasanya sudah agak berbeda.
Meskipun demikian, dengan usia lebih dari 60 tahun, nama Karang Taruna punya brand equity kuat. Ia sudah tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia.
Tantangan Relevansi di Era Digital
Namun, saya juga mendengar keluhan dari pemuda desa. Bagi sebagian mereka, Karang Taruna sering dianggap:
* Terlalu seremonial. Tak jarang juga jadi tunggangan elit politik untuk mengadakan program pencalonan atau program partai, dengan menggandeng Karang Taruna.
* Kegiatan terbatas pada acara konvensional. Beberapa program resmi pun kerap menggandeng Karang Taruna, namun lemah di tindak lanjut dan eksekusi.
* Kurang inovatif dibanding komunitas kreatif digital.
Inilah titik krusialnya. Bukan soal nama yang usang, melainkan soal persepsi dan positioning.