"Masa depan murid dimulai dari cara guru hari ini memahami dunia yang sedang berubah, termasuk kecerdasan buatan yang belajar seperti manusia."
"Bu, AI Ini Namanya CoPilot"
"Bu, aku tadi di kelas bikin cerita bareng AI. Namanya Copilot. Dia pintar banget, bisa bantu aku bikin dongeng tentang dinosaurus bisa bicara."
Seorang ibu terdiam. Alisnya terangkat.
"Apa itu AI, Nak?" tanyanya pelan dan hati-hati.
"Katanya, itu kayak otak buatan. Kayak manusia, tapi di komputer." kata sang anak dengan semangat dan antusias.
Ibu itu spontan menatap suaminya. "Kok anak SD udah diajarin beginian sih?"
Besoknya, obrolan serupa muncul di grup WhatsApp wali murid.
- "AI itu aman gak sih buat anak-anak?"
- "Apa gak terlalu dini?"
- "Kalau AI bisa mikir, anak-anak kita belajar apa?"
Beberapa orang tua sempat khawatir. Sebagian bahkan mengajukan protes ke sekolah.
Namun, keresahan mereka mulai mencair ketika kepala sekolah menjelaskan: "Bapak/Ibu, AI bukan masa depan. Ia sudah ada di genggaman kita --- di ponsel, di televisi, di dunia kerja, bahkan di sistem ujian. Anak-anak Bapak Ibu bukan sekadar pengguna, mereka calon pencipta dan pemimpin di dunia yang penuh kecerdasan buatan."
Sejenak suasana hening.
"Kalau kita tidak menyiapkan mereka sekarang, siapa yang akan melindungi nilai-nilai manusia di era AI kelak?"
Saat itulah, pelan-pelan para orang tua mulai memahami:
+ Bahwa belajar AI bukan tentang mesin, tapi tentang masa depan manusia.
+ Bahwa mengenal Deep Learning sejak dini bukan mencabut kemurnian anak-anak, tapi menanamkan akal, etika, dan empati dalam dunia teknologi.
Dan saat mereka melihat anak-anak mereka bisa menjelaskan konsep "neuron buatan" dengan menggambar otak dan garis sambungan, mereka tersenyum bangga.