"Birokrasi yang hebat tidak dibangun dari struktur yang kaku, tetapi dari manusia yang tumbuh dalam sistem yang adil dan bermakna."
Saat Organisasi Gagal Menyiapkan Pemimpinnya Sendiri
Ada sebuah paradoks yang nyaris tak terlihat oleh publik, di tengah semangat reformasi birokrasi yang digaungkan dari pusat hingga daerah. Ironisnya ini sudah terjadi cukup lama. Namun ini sangat dirasakan oleh para aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di dalam sistem, yaitu krisis kaderisasi dan sistem merit yang rapuh.
Sebuah contoh, ada kepala sekolah negeri ternama di sebuah daerah yang merangkap menjadi kepala sekolah di luar kecamatan kota. Sementara di Pemkot Tasikmalaya juga terjadi Krisis Kepemimpinan, dimana ada 8 Dinas dan 37 Sekolah Tanpa Pimpinan Definitif (priangan.com, 12 Mei 2025). Tak hanya di kementrian, di partai politik pun krisis kaderisasi juga terjadi di banyak partai (MetroTV, 30 Agustus 2024).
Rasanya, ini bukan sekadar isu teknis manajemen sumber daya manusia (SDM). Ini adalah persoalan sistemik yang menyangkut jantung tata kelola organisasi pemerintah. Yaitu, bagaimana menyiapkan pemimpin masa depan dari dalam sistem, bukan sekadar mengimpor solusi dari luar. Ketika talenta terbaik internal tidak dikenali dan tidak dikembangkan, maka bukan hanya birokrasi yang stagnan - masa depan pelayanan publik pun ikut dipertaruhkan.
Akar Masalah: Ketika Sistem Karier Tidak Menjadi Sistem
Krisis kaderisasi terjadi karena tidak adanya sistem pengembangan karier yang terstruktur, konsisten, dan berbasis kompetensi serta kinerja. Banyak instansi belum menyusun Career Development Plan (Rencana Pengembangan Karier) secara sistematis, padahal hal ini merupakan amanat langsung dari Undang-Undang ASN No. 5 Tahun 2014 dan PP No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Dalam praktiknya, yang terjadi justru sebaliknya: sistem asesmen digunakan hanya sebagai formalitas administratif, bukan sebagai alat strategis untuk merancang jalur karier dan suksesi kepemimpinan. Hasil asesmen sering tidak berujung pada promosi yang selaras, bahkan tidak dijadikan rujukan dalam pelatihan atau pemetaan talenta.
Akibat dari kondisi ini sangat nyata, dan dampak ikutannya bisa mengalir kemana-mana. Antara lain :
* Banyak jabatan strategis seperti Direktur Jenderal justru diisi oleh orang luar yang belum tumbuh dari dalam organisasi.
* Talenta internal yang loyal dan berprestasi menjadi apatis karena tidak ada kejelasan arah karier.
* Organisasi kehilangan kemampuan regeneratifnya karena tidak menyiapkan leadership pipeline yang sehat.
Indikator Krisis: Gejala yang Tak Bisa Diabaikan
Beberapa indikator nyata yang menegaskan lemahnya sistem merit dan kaderisasi, bisa dilihat antara lain dari indikasi ini:
* Ketidaksesuaian antara hasil asesmen dan penempatan jabatan. Ini mencerminkan bahwa keputusan promosi masih didominasi faktor subjektif, bukan objektif.
* Dominasi Sekretariat Jenderal dan Biro SDM dalam keputusan SDM, tanpa keterlibatan unit teknis yang lebih tahu kebutuhan riil di lapangan.
* Tidak adanya dokumen Rencana Pengembangan Karier PNS, meskipun hal ini merupakan kewajiban regulatif dan instrumen strategis dalam membangun sistem talenta.
* Kurangnya persiapan suksesi untuk jabatan eselon 3 dan 4. Padahal level ini merupakan tulang punggung operasional institusi.
* Transisi dari Baperjakat ke sistem asesmen tidak ditindaklanjuti dengan sistem merit yang fungsional. Akhirnya, perubahan ini hanya bersifat kosmetik, alias tanpa makna transformasional.
Analisis Strategis: Ketika Sistem Merit Gagal Dijalankan
Sistem merit adalah fondasi dari birokrasi modern. Ia didesain untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kesempatan yang adil dan berbasis kemampuan untuk berkembang dan menduduki jabatan yang sesuai.