"Masalah dalam hidup tak selalu harus diredam; kadang ia perlu dididihkan, agar jati diri muncul dan karakter terbaik terbentuk."
Beberapa kali saya mendengar kisah tentang "Telur dan Kentang" ini di berbagai kesempatan. Namun entah mengapa, setiap kali cerita ini kembali hadir, selalu saja ada makna baru yang bisa dipetik. Ya, tergantung dari sudut pandang mana kita memaknainya.
Kali ini, izinkan saya mengajak Anda melihat kisah ini dari lensa neurosains dan Neuro Linguistic Programming (NLP). Mengapa?Agar kita bisa menyerap esensi hikmahnya dengan lebih dalam, dan mudah diresapi oleh nalar dan rasa.
Dalam ruang kelas kehidupan, kita semua - tanpa kecuali - akan masuk ke dalam "air mendidih" bernama ujian hidup. Entah itu berupa masalah, tekanan, penolakan, krisis, atau kehilangan. Semua itu tak bisa dihindari. Namun yang membedakan setiap insan bukanlah keras atau lembutnya ujian, melainkan bagaimana ia meresponsnya.
Sebab, ujian bukan datang untuk menjatuhkan. Ia hadir untuk mengungkap siapa diri kita yang sejati.
Mari kita tengok kembali dua benda sederhana: sebutir telur dan sebongkah kentang.
Telur tampak rapuh. Cangkangnya mudah pecah. Isinya lembek dan cair, tak berbentuk. Sementara itu, kentang terlihat kokoh - padat, segar, dan mantap. Jika dilempar, ia bisa memantul.
Namun lihatlah apa yang terjadi saat keduanya dimasukkan ke dalam air yang sama: air mendidih yang panas, bergolak, dan penuh tekanan.
Telur yang rapuh justru mengeras. Di balik cangkang tipisnya, ia matang. Putih dan kuningnya bersatu, utuh, dan siap memberi manfaat. Air mendidih tak menghancurkannya. Justru menguatkannya.
Kentang yang keras justru melunak. Perlahan ia hancur, melembek, dan kehilangan bentuk. Bukan karena suhu air yang terlalu panas, melainkan karena dari dalam ia tak cukup kuat untuk bertahan dalam prosesnya.