Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Transformative Human Development Coach | Penulis 4 Buku

Agung MSG – 🌱 Transformative Human Development Coach ✨ Mendampingi profesional bertumbuh lewat self-leadership, komunikasi, dan menulis untuk reputasi. 📚 Penulis 4 buku dan 1.400+ artikel inspiratif di Kompasiana. 💡 Penggagas HAI Edumain – filosofi belajar dan berkarya dengan hati, akal, dan ilmu. 📧 agungmsg@gmail.com | 🔗 bit.ly/blogagungmsg | 📱 @agungmsg 🔖 #TransformativeCoach #LeadershipWriting #GrowWithAgung “Menulis bukan sekadar merangkai kata, tapi merawat jiwa dan meninggalkan jejak makna.”

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Emotional Selling Intelligence: Saatnya Menjual dengan Empati, Bukan Hanya Strategi

26 Juni 2025   12:45 Diperbarui: 27 Juni 2025   07:15 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Empati membuka pintu, kepercayaan menguncinya dari dalam.| Foto: interscripts.com

"Orang membeli dengan emosi, membenarkannya dengan logika."
Kalimat ini terdengar klise, tapi entah mengapa... tetap terasa benar.

Saat Kita Lupa Bahwa Kita Sedang Berbicara dengan Manusia

Saya pernah duduk di sebuah kafe kecil, mendengarkan seorang teman yang mengeluh soal penjual online yang menurutnya "terlalu ngotot."

"Baru juga tanya-tanya, sudah dikasih harga dan disuruh transfer. Padahal aku belum yakin ini solusi yang aku butuhin," katanya sambil menyeruput kopi.

Waktu itu, saya hanya tersenyum. Karena saya tahu, penjual itu bukan tidak sopan. Ia hanya terlalu cepat. Terlalu fokus pada strategi, hingga lupa empati. Ia lupa bahwa di balik "calon pembeli" itu ada seseorang yang mungkin sedang bingung, cemas, atau hanya ingin didengarkan sebentar.

Atau, bisa jadi ia lupa bahwa ia ini sedang bertugas dan "dinas". Karena ia membawa masalah pribadi atau masalah keluarganya saat ia "bekerja", sehingga lupa terhadap kebutuhan customernya. Lupa berempati, lupa tidak memahami terlebih dahulu, dan langsung "meloncat" pada proses transaksi dan target pribadi.

Dalam artikel ini, saya ingin berbagi bagaimana kita bisa menekankan kekuatan niat dan empati dalam menjual. Juga mendorong pembaca untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses bisnis tanpa menggurui atau terdengar klise.

Tak salah bila kita meyakini ini, bahwa: "Menjual yang paling berkesan bukan datang dari strategi paling canggih, tapi dari hati yang paling hadir dan niat yang paling tulus."

Empati membuka pintu, kepercayaan menguncinya dari dalam.| Foto: interscripts.com
Empati membuka pintu, kepercayaan menguncinya dari dalam.| Foto: interscripts.com

Menjual Itu Bukan Sekadar Teknik, Tapi Seni Menyentuh Hati

Dalam dunia yang semakin cepat, kita sering merasa dituntut untuk closing secepatnya. Kita dilatih untuk menaklukkan target, bukan membangun kedekatan.

Padahal, percaya atau tidak, yang paling diingat dari proses menjual justru bukanlah produk, tapi perasaan. Perasaan nyaman. Dihargai. Dipahami. Juga perasaan "merasa penting dan berarti". Dan di sinilah letak pentingnya sesuatu yang mulai banyak dibicarakan: Emotional Selling Intelligence. Yaitu kemampuan menjual dengan hati, bukan hanya akal.

Apa Itu Emotional Selling Intelligence?

Senyatanya, kita bisa membayangkan bahwa orang yang berdiri di depan diri kita bukan hanya seorang calon klien. Meski di tangan kita ada data, fitur dan benefit, atau beragam penawaran menarik, tetap saja yang ada di hadapan kita itu bukan sekadar "prospek". Tapi, manusia seutuhnya.

Sebagai manusia, ia adalah seorang manusia dengan pengalaman, ketakutan, dan keinginan yang belum tentu bisa dijelaskan dengan logika. Kita perlu menggalinya dengan pertanyaan atau kebutuhan spesifiknya, dan apa yang menjadi solusinya.

Emotional Selling Intelligence (ESI) adalah kemampuan untuk:
* Menyadari emosi dalam diri sendiri saat menjual (grogi, takut ditolak, egois, atau terlalu semangat).
* Merasakan emosi dalam diri calon pembeli (bingung, ragu-ragu, belum jelas, antusias).
* Dan menjadikan proses menjual sebagai ruang untuk memahami dan menguatkan, bukan hanya menawarkan.

Strategi Itu Perlu, tapi Empati yang Membuka Pintu

Saya tidak menentang strategi. Saya pernah belajar dari para praktisi sukses tentang teknik sales funnel, NLP, copywriting, sampai yang paling mutakhir: AI-based sales optimization. Tapi percayalah... empati itu membuka pintu. Strategi yang baik hanya akan bekerja bila pintunya sudah terbuka.

Orang bisa lupa harga, lupa fitur, bahkan lupa siapa yang pertama kali menawarkan. Atau juga lupa kapan penawaran itu diberikan, di mana, dan dalam suasana seperti apa. Tapi, percayalah bahwa mereka tidak akan lupa bagaimana kita membuat mereka merasa berharga, penting, dan berarti.

Mengembangkan Emotional Selling Intelligence: Mulai dari Diri Sendiri

Berikut beberapa cara sederhana, tapi bisa mengubah cara pandang kita agar ESI kian terasah dan bernilai tinggi:

1. Tahan dorongan untuk langsung menjual.
Sabar, tahan jangan egois. Jauh lebih baik, mendingan coba dengarkan dulu. Ajukan pertanyaan yang menunjukkan ketulusan. Fahami, sebelum difahami. "Apa yang paling Anda butuhkan saat ini?", ini tentu bisa lebih berarti dari "Mau saya kirim pricelist-nya?"

2. Latih kesadaran emosional saat menjual.
Apa saya sekarang ini hadir sepenuhnya dan "berdinas" penuh? Apakah masalah pribadi dan masalah keluarga saya, sudah saya tinggalkan sementara selama saya sedang bekerja untuk memberikan nilai tambah ke orang lain? Apakah saya sedang tertekan target? Apakah saya menjual karena ingin membantu atau sekadar mengejar angka?

3. Jujur dan tulus itu powerful.
"Saya tidak yakin produk ini cocok untukmu, tapi saya bisa bantu kamu menemukan solusinya," adalah kalimat yang tak banyak digunakan. Tapi, justru kalimat itulah yang membuat orang percaya.

4. Jadikan menjual sebagai bentuk pelayanan dan kemuliaan.
Menjual bisa menjadi bentuk ibadah, mengumpulkan amal kebaikan, dan mendapat rida-Nya bila niatnya untuk membantu. Itulah mengapa kita butuh Spiritual Intelligence (SQ), agar yang kita tawarkan bukan hanya barang, tapi niat baik yang terbungkus nilai dan kebaikan.

Akhirnya, Semua Kembali ke Niat

Saya percaya bahwa menjual adalah salah satu cara paling jujur untuk memberi nilai pada orang lain. Tentu, kalau yang kita lakukan itu diiringi dengan niat yang bersih, pendekatan yang hangat, dan sikap yang peduli.

Emotional Selling Intelligence bukan tren. Ia adalah panggilan zaman. Di dunia yang semakin otomatis, justru sisi manusialah yang membuat kita relevan. Sentuhan pribadi, sisi humanis, akan terasa lebih manis. Dibandingkan bila kita hanya fokus pada profit, sistem dan prosedur, mekanisme, term and conditions, dan aturan yang berlaku.

Ingatlah Selalu, Senyatanya Semua Orang Itu Ingin Didengar

Entah Anda menjual produk, jasa, pelatihan, atau bahkan ide, atau apa pun itu... Ingatlah: yang Anda hadapi adalah manusia. Mereka bukan "target pasar", bukan "prospek", bukan "database". Mereka adalah orang-orang yang mungkin hanya ingin merasa dimengerti. Mungkin sedang mencari harapan. Dan mungkin... justru Anda-lah yang bisa menjadi jembatan itu, dan memberikan solusi joss-nya.

Maka, sebelum Anda menyiapkan penawaran, latihlah kepekaan. Karena di dunia yang penuh dengan hiruk pikuk penawaran, menjual dengan empati bukan sekadar pilihan, tapi keunggulan yang tak bisa ditiru.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun