Senyatanya, kita bisa membayangkan bahwa orang yang berdiri di depan diri kita bukan hanya seorang calon klien. Meski di tangan kita ada data, fitur dan benefit, atau beragam penawaran menarik, tetap saja yang ada di hadapan kita itu bukan sekadar "prospek". Tapi, manusia seutuhnya.
Sebagai manusia, ia adalah seorang manusia dengan pengalaman, ketakutan, dan keinginan yang belum tentu bisa dijelaskan dengan logika. Kita perlu menggalinya dengan pertanyaan atau kebutuhan spesifiknya, dan apa yang menjadi solusinya.
Emotional Selling Intelligence (ESI) adalah kemampuan untuk:
* Menyadari emosi dalam diri sendiri saat menjual (grogi, takut ditolak, egois, atau terlalu semangat).
* Merasakan emosi dalam diri calon pembeli (bingung, ragu-ragu, belum jelas, antusias).
* Dan menjadikan proses menjual sebagai ruang untuk memahami dan menguatkan, bukan hanya menawarkan.
Strategi Itu Perlu, tapi Empati yang Membuka Pintu
Saya tidak menentang strategi. Saya pernah belajar dari para praktisi sukses tentang teknik sales funnel, NLP, copywriting, sampai yang paling mutakhir: AI-based sales optimization. Tapi percayalah... empati itu membuka pintu. Strategi yang baik hanya akan bekerja bila pintunya sudah terbuka.
Orang bisa lupa harga, lupa fitur, bahkan lupa siapa yang pertama kali menawarkan. Atau juga lupa kapan penawaran itu diberikan, di mana, dan dalam suasana seperti apa. Tapi, percayalah bahwa mereka tidak akan lupa bagaimana kita membuat mereka merasa berharga, penting, dan berarti.
Mengembangkan Emotional Selling Intelligence: Mulai dari Diri Sendiri
Berikut beberapa cara sederhana, tapi bisa mengubah cara pandang kita agar ESI kian terasah dan bernilai tinggi:
1. Tahan dorongan untuk langsung menjual.
Sabar, tahan jangan egois. Jauh lebih baik, mendingan coba dengarkan dulu. Ajukan pertanyaan yang menunjukkan ketulusan. Fahami, sebelum difahami. "Apa yang paling Anda butuhkan saat ini?", ini tentu bisa lebih berarti dari "Mau saya kirim pricelist-nya?"
2. Latih kesadaran emosional saat menjual.
Apa saya sekarang ini hadir sepenuhnya dan "berdinas" penuh? Apakah masalah pribadi dan masalah keluarga saya, sudah saya tinggalkan sementara selama saya sedang bekerja untuk memberikan nilai tambah ke orang lain? Apakah saya sedang tertekan target? Apakah saya menjual karena ingin membantu atau sekadar mengejar angka?
3. Jujur dan tulus itu powerful.
"Saya tidak yakin produk ini cocok untukmu, tapi saya bisa bantu kamu menemukan solusinya," adalah kalimat yang tak banyak digunakan. Tapi, justru kalimat itulah yang membuat orang percaya.
4. Jadikan menjual sebagai bentuk pelayanan dan kemuliaan.
Menjual bisa menjadi bentuk ibadah, mengumpulkan amal kebaikan, dan mendapat rida-Nya bila niatnya untuk membantu. Itulah mengapa kita butuh Spiritual Intelligence (SQ), agar yang kita tawarkan bukan hanya barang, tapi niat baik yang terbungkus nilai dan kebaikan.
Akhirnya, Semua Kembali ke Niat
Saya percaya bahwa menjual adalah salah satu cara paling jujur untuk memberi nilai pada orang lain. Tentu, kalau yang kita lakukan itu diiringi dengan niat yang bersih, pendekatan yang hangat, dan sikap yang peduli.