"Smansa adalah tempat di mana mimpi pertama kali ditanam, persahabatan dibentuk, dan karakter dibangun. Setiap langkah setelahnya adalah bukti bahwa kita pernah bermimpi besar di sini."
Sore ini, aku dapat surat dari seorang sahabat hebat. Ia menulis lepas, tanpa sekat. Katanya,
“Buat sahabat Smansa, tempat di mana hati ini tumbuh,
Di ujung benua yang jauh, aku menulis surat ini dengan segala kerinduan yang membuncah. Sore ini, saat foto-foto lama itu kembali menyentuh mata, memori itu datang begitu saja, dengan kelembutan yang memeluk jiwaku. Foto-foto yang mengingatkan pada segala kebahagiaan, semangat, dan harapan yang dahulu pernah terukir di lorong-lorong Smansa. Aku mengirimkan foto-foto itu padamu, pada sahabat yang jauh, sahabat yang pernah berbagi segala cerita dan tawa di sana, di rumah kita yang tercinta.”
Cerita pun beralih sebentar dengan kesibukan dan tantangan pekerjaannya. Tapi itu sebentar, ia lebih senang berbicara tentang kenangannya di Smansa. Aku hanya senyum, mengangguk-angguk, dan antusias mendengar cerita-ceritanya.
Namun, dari semua cerita yang ia sampaikan, ada kata-kata yang begitu indah menyentuh hati, menelisik jiwa. Menggambarkan setiap inci perasaan yang terpendam dalam perjalanan kita. Katanya,
"Pertama kali kita melangkah masuk ke Smansa, ada rasa haru, semangat, dan harapan yang menyelimuti. Tak terasa, perjalanan itu kini tiba di ujungnya. Semua cerita, tawa, dan pelajaran berharga akan kita bukukan dalam album kenangan ini - bukan sekadar untuk diingat, tapi untuk selalu menjadi bagian indah dalam hidup kita selamanya."
Ya, aku setuju. Begitulah rasanya. Di setiap langkah yang kita ambil, kita menanamkan kenangan yang kelak akan menjadi bagian dari cerita hidup kita yang tak terlupakan. Dan kini, foto-foto itu menjadi jembatan yang menghubungkan kita kembali, meskipun jarak memisahkan. Sahabatku itu pun terharu, merasakan getaran emosi saat melihat wajah-wajah kita yang kini mungkin telah berubah. Namun, meski waktu terus berlalu, cinta itu tetap terjaga, seperti api yang tak pernah padam.
Namun, kali ini aku pun merasa terenyuh saat dia berkata,