Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Insan Pembelajar

Agung MSG - Trainer Transformatif | Human Development Coach | Penulis Buku * Be A Rich Man (2004) * Retail Risk Management in Detail (2010) * The Prophet’s Natural Curative Secret (2022) 📧 Email: agungmsg@gmail.com 📱 Instagram: @agungmsg 🔖 Tagar: #haiedumain | #inspirasihati

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Mengapa Penulis Humor Itu Langka, Layaknya Indiana Jones Memburu Harta Karun di Gua-Gua

20 November 2024   08:47 Diperbarui: 20 November 2024   08:51 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tawa adalah harta karun yang ditemukan di balik kata-kata.|Image: Bing.com

"Menulis humor adalah seni menyulam tawa di atas realitas, menciptakan kebahagiaan meski dunia terasa terlalu serius."

Ketika kata-kata saat menulis humor jadi pahlawan di dunia yang begitu serius, bisa jadi ini akan jadi pengalaman "horor" bagi sebagian penulis.

Coba Anda bayangkan aja ini: Anda duduk di sebuah ruangan penuh orang, mencoba melontarkan lelucon terbaik Anda. Tapi, semua diam hening tak bersuara. Satu-satunya suara, ya dengung AC yang mencoba mencairkan keheningan.

Menulis humor, saudara-saudara sebangsa dan sedunia, persis seperti itu. Ia bukan sekadar seni mengolah kata, tapi seni bertahan dari keheningan yang mematikan! Harus berani melawan "kehororan".

Seorang bijak pernah menyampaikan, humor itu adalah bahasa universal. Ia mampu menjembatani perbedaan, mengangkat suasana hati, dan bahkan menyelesaikan konflik. Tapi, kenapa penulis humor begitu langka, seperti menemukan koin emas di reruntuhan kota kuno?

Jawabannya sederhana: menulis humor itu jauh lebih sulit daripada yang terlihat. Sesulit memburu para koruptor elit yang pandai berkelit dan saling menutupi, dan konon juga saling menyandera. Betapa tidak, humor itu tidak hanya butuh kreativitas, tapi juga nyali yang besar. Sebesar nyali dan kecerdasan Indiana Jones untuk menghadapi kritik, salah paham, dan tuntutan untuk selalu lucu.

Menulis humor adalah seni yang tak hanya mengundang tawa, tetapi juga menyentuh rasa kemanusiaan secara mendalam. Namun dalam aplikasinya, ada juga yang menggunakan humor sebagai "politik riang gembira" yang celakanya kebablasan.

Ya, sekali lagi, menjadi penulis humor tak ubahnya seperti Indiana Jones yang berpetualang mencari harta karun di gua-gua tersembunyi: penuh tantangan, risiko, dan butuh kecakapan luar biasa.

Lalu, apa rahasianya? Mari kita mulai dan kita kupas ringkas satu per satu alasannya:

1. Keahlian yang tidak umum

Menulis humor bukan sekadar memainkan kata-kata atau mengarang lelucon. Seorang penulis humor harus memahami psikologi manusia, menguasai seni bahasa, dan memiliki timing yang sempurna. Humor yang baik memerlukan kelincahan berbahasa untuk mengolah realitas, kadang absurd, menjadi cerita yang membangkitkan tawa. Ini adalah perpaduan antara kecerdasan verbal dan intuisi budaya yang hanya dimiliki oleh segelintir orang.

Menulis humor juga butuh referensi dan inspirasi yang mendalam. Mulai dari psikologi komunikasi, sosiologi budaya, serta observasi terhadap dinamika sosial dan literasi modern.

2. Risiko penolakan yang tinggi

Humor bersifat subjektif dan terikat pada persepsi individu maupun norma budaya. Apa yang lucu bagi satu kelompok bisa dianggap ofensif atau tidak relevan oleh kelompok lain. Seorang penulis humor harus berhati-hati agar tidak tergelincir dalam jurang kontroversi. Ketakutan akan salah paham atau kritik sering kali membuat banyak calon penulis humor mundur sebelum mencoba.

Saat seorang sahabat penulis menyampaikan "Sesekali nulis yang nyantai...", saya tantang dia: "Sesekali juga nulis humor ya Pak...". Jawabnya lucu, "Berat kayaknya ini, khawatir garing, tapi perlu dicoba :-))"

Di kasus lain, ada juga politisi yang mencoba menghibur di panggung politik. Namun, malah ditertawakan karena "politik riang gembira yang kebablasan". Seandainya dia menuliskan terlebih dahulu point-point penting dan hal-hal lucu yang menyegarkan masyarakat, maka kesan akhirnya, pasti jadi bagus dan sesuai harapan.

3. Kreativitas yang tak pernah padam

Menciptakan humor segar dan orisinal ibarat menyalakan lilin di tengah badai. Penulis harus terus menggali ide baru di tengah tekanan untuk tetap relevan. Ini adalah tugas yang melelahkan, terutama dalam dunia yang semakin cepat berubah. Tidak heran jika banyak penulis humor beralih ke genre lain yang lebih stabil dan aman.

4. Minimnya apresiasi

Di banyak budaya, humor sering dianggap hiburan ringan yang tidak memiliki bobot intelektual. Akibatnya, penulis humor sering kurang mendapatkan pengakuan dibandingkan dengan penulis sastra, politik, atau sejarah. Padahal, menciptakan humor yang cerdas dan bermakna membutuhkan upaya dan kecerdasan yang tidak kalah dari genre lain.

5. Pasar yang terbatas

Peluang untuk menulis humor secara profesional juga terbilang sempit. Media massa sering kali lebih mengutamakan berita serius atau hiburan visual seperti film dan video. Akibatnya, penulis humor harus berjuang lebih keras untuk menemukan platform yang cocok untuk karya mereka.

Bagaimana Menghadapi Tantangan Ini?

Meskipun jalannya sulit, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mendorong lahirnya lebih banyak penulis humor:

1. Pendidikan khusus. Mengembangkan kurikulum atau pelatihan formal dalam menulis humor dapat membantu bakat-bakat baru menemukan jalan mereka. Ada juga buku-buku luar yang memandu bagaimana menulis humor itu.

2. Platform yang mendukung. Media digital bisa menjadi lahan subur untuk konten humor yang lebih beragam dan segar.

3. Komunitas pendukung. Membangun komunitas bagi penulis humor untuk berbagi ide dan umpan balik akan meningkatkan kualitas karya sekaligus memperluas jangkauan mereka.

Mengenang Para Maestro

Sejarah telah mencatat nama-nama besar seperti Mark Twain, P.G. Wodehouse, hingga Dono-Indro-Kasino di Warkop DKI. Mereka mampu menunjukkan bahwa humor bisa menjadi alat yang kuat untuk menyampaikan kritik sosial, menyatukan masyarakat, dan memberikan kebahagiaan. 

Di jaman kejayaannya, film-film Warkop hanya ditayangkan setelah lebaran. Alhasil penontonnya membludak mengular sepanjang jalan kenangan. Dibalik itu, saya suka kepo: siapa aja ya itu penulis skenario filmnya? Itu ditulis sendiri, atau rame-rame banyakan?

Kesimpulan

Penulis humor memang langka, tetapi peran mereka sangat vital dalam kehidupan. Layaknya Indiana Jones, mereka membawa "harta karun" berupa tawa dan kebahagiaan yang memperkaya jiwa kita. 

Dengan dukungan yang tepat, mungkin kita bisa melihat lebih banyak petualang humor yang berani melintasi gua-gua tersembunyi kehidupan, menghadirkan cahaya bagi dunia yang sering kali terasa terlalu serius.

"Dunia ini kadang terlalu serius, seperti rapat yang nggak pernah selesai. Padahal, hidup juga butuh hiburan ringan - seperti tawa kecil atau jebakan receh yang bikin lega."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun