Mohon tunggu...
Agung Kresna Bayu
Agung Kresna Bayu Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Fisipol UGM

Mengolah keseimbangan intelektual antara logika dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Antara Pandemi

5 Juni 2020   12:32 Diperbarui: 5 Juni 2020   12:39 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Nasional Tempo (sumber:nasional.tempo.co)

Belum usai soal itu, juru bicara pemerintah untuk percepatan penagangan Covid 19 di Indonesia dalam siaran persnya mengatakan bahwa "Yang kaya akan menjaga yang miskin, dan yang miskin jangan menularkan penyakit pada yang kaya". Disadari atau tidak, pernyataan ini membuat banyak masyarakat kita merasa tersakiti, terlebih bagi masyarakat kelas bawah, sudah kehilangan pekerjaan dan untuk makan saja sulit justru masih dianggap sebagai pembawah virus? 

Memang sulit untuk menilai dari dirinya sendiri, tetapi ini memberikan kita penalaran bahwa terdapat persoalan di dalam dunia pendidikan, sebab tutur dan perbuatan dilandasi nilai serta ilmu pengetahuan dibentuk dalam institusi pendidikan. Alhasil, saat masih dijumpai pernyataan seperti ini, padahal dia seharusnya mampu memberikan rasa pengayom, berarti ada nilai yang salah diajarakan dalam pendidikan. 

Ini bukan hanya berlaku bagi pernyataan itu, tetapi sering kita jumpai pernyataan-pernyataan serupa dalam kesehariaan yang memposisikan dirinya sudah aman dan sudah stabil. Padahal, kita semua adalah orang yang rentan, bahwa hidup itu penuh dengan ketidakpastiaan dan ketidakprekdisian, contohnya nyatanya adalah saat kita mengalami pandemi seperti saat ini.

Dua bulan pasca kasus pertama ditemukan, umat islam bersiap menyambut ramadhan dan idul fitri, namun kegembiraan dan kegermelapan seperti pada tahun-tahun sebelumnya tidak dirasakan oleh sebagian umat karena protokol kesehatan menganjurkan untuk beribdah di rumah. Pertengahan ramadan menjadi waktu yang mendebarkan bagi sebagian besar perantau yang berharap-harap cemas untuk dapat merayakan idul fitri di kampung halaman. 

Sebab, waktu itu pemerintah mulai membahas tentang pelarangan mudik lebaran sebagai upaya memutus penyebaran virus. "Ambyar" rasanya, pekerjaan tidak menentu, makan sulit, dan mudik dilarang. Media justru dengan sibuk memberitakan tentang perbedaan mudik dan pulang kampung?

Sebelum kita membahas ini lebih lanjut, dari awal maret hingga saat ini, pernahkah kita menyadari bahwa media kita selalu menggambarkan virus ini sebagai hal yang sangat mematikan. Hal tersebut tidaklah salah atau pun benar, tetapi poinnya bahwa media kita secara tidak sadar membentuk nalar di masyarakat yang semakin membuatnya takut dan simpang siur informasi bersama hoax yang merajalela.

Saat ini kita dibuat sangat tergantung dengan teknologi informasi, coba bayangkan tentang work from home, dimana yang bisa melakukannya hanyalah orang-orang yang memiliki piranti teknologi dan akses terhadap internet. Satu lagi tentang sekolah online, dimana terjadi cultural shock, hal itu disebabkan nalar pendidikan kita yang mendasarkan pada institusi, sehingga kurang afdol rasanya kalau menempuh pendidikan tanpa pergi ke sekolah.

Namun, dari dua kasus ini, kita menyadari betapa teknologi saat ini menjadi satu-satunya media penghubung dalam pembatasan jarak dan kontak sosial. Akan tetapi, secara tidak sadar hal ini membentuk nalar kita dengan ketergantungan kepada tekonologi. Coba kembali banyangkan, bagi masyarakat kelas bawah mungkin gawai sudah dimiliki, tetapi soal spesifikasi dan akses internet yang memunculkan ketimpangan. Belum lagi berbicara soal listrik sebagai sumber utama teknologi informasi, bagi daerah yang tidak memiliki akses listrik apa yang akan terjadi?

Momen idul fitri yang ditunggu-tunggu pun tiba, tetapi anjuran silaturahmi secara online menjadikan budaya saling berkunjung dan hidangan kue lebaran terasa kurang lengkap. Momen ini juga menjadi refleksi bagi kita bersama, bahwa idul fitri adalah hari raya umat islam sebagai agama dengan pengikut terbesar di Indonesia, tetapi jauh sebelum itu saudara kita umat Katholik, Nasrani, Hindu, dan Budha juga merasakan hal yang sama, dimana merayakan hari besar secara virtual. 

Sisi lain dari pandemi ini adalah munculnya kesadaran kita akan rasa kasih dan kemunusiaan, virus tersebut tidak memilih akan menyerang siapa, oleh karenanya mengajarkan kita untuk kembali ke dalam diri dengan melihat orang lain sebagai sesama manusia bukan dari agamanya, sukunya, golongannya, atau kelasnya.

Seolah babak baru muncul padahal masih menerapakan logika yang sama, wacana yang muncul setalah 3 bulan kita menjadi saksi dan pelaku perubahan adalah new normal. Publik dibuat terhipnotis dengan hal ini, sebab apa yang rindukan seolah hadir mengatasi ketidakpastian ini. Namun, kembali lagi bahwa new normal ini diperuntukan bagi siapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun