Mohon tunggu...
Agung Kresna Bayu
Agung Kresna Bayu Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Fisipol UGM

Mengolah keseimbangan intelektual antara logika dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Antara Pandemi

5 Juni 2020   12:32 Diperbarui: 5 Juni 2020   12:39 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Nasional Tempo (sumber:nasional.tempo.co)

Pandemi Covid 19 melanda hampir semua negara di dunia, tidak terkcuali Indonesia. Sejak awal Maret 2020, saat kasus positif pertama ditemukan di Indonesia. Kehidupan di negara kita berangsur-angsur berubah, mulai dari pembatasan akses publik sampai pembatasan sosial berskala besar yang tengah kita jalani. 

Berbagai dampak tersebut seiring-berirama dengan munculnya cerita-cerita masyarakat yang menarik untuk kita dalami serta renungkan bersama. Hampir di setiap penjuru wilayah saat ini, kita jumpai pos penjagaan dilengkapi dengan portal, air bersih, sabun cuci tangan, masker, dan alat pengecakan suhu tubuh.

Sebulan berjalan setalah kasus pertama ditemukan, sebagian dari kita mulai merasakan dampak lain dari wabah ini. Pos penjagaan yang berfungsi sebagai pengecekan suhu tubuh dan cuci tangan mulai bekerja ganda, sebagai pos pengamanan dari tindak kriminal yang mulai meningkat sebab orang sulit mencari makan. 

Di tengah situasi seperti ini, pemerintah justru membebaskan ribuan napi dari rumah prodeo. Masyarakat semakin bingung, pemberitaan di berbagai media menghasruskan mereka untuk di rumah saja dan tidak berpergian, tetapi mengapa napi justru dibebaskan? Hal ini membuat situasi di masyarakat semakin runyam, sebab bersamaan dengan mulai meningkatkanya tindak kriminal, sehingga muncul berbagai pandangan serta rasa ketakutakan di masyarakat.

Selain itu, tidak sedikit masyarakat yang mulai kehilangan pekerjaan, ini semacam efek domino, sebab saat kehilangan pekerjaan salah satu dampak langsung adalah kepenuhan kebutuhan pangan. Pemerintah mulai mewacanakan pemeberiaan bantuan sosial, berbagai bentuk bantuan telah dirancang sebagai jaring pengaman. 

Namun, permasalahan data serta indikasi adanya oligarki membuat program-program bantuan sosial mendapatkan perhatihan. Salah satu kasus yang muncul adalah dugaan korupsi di tengah pandemi, yang menyangkut mitra penyedia pelatihan untuk program kartu pra-kerja. Selain itu, terdapat permasalahan lain, yakni tata kelola birokrasi. Saling lempar tanggung-jawab baik antar level pemerintahan dan sektor semakin membuat situasi tidak menentu di masyarakat, sebab mereka sangat membutuhkan bantuan itu untuk bertahan hidup.

Ilustrasi: SuaraJogja
Ilustrasi: SuaraJogja

Bantuan sosial didistribusikan, muncul kembali masalah soal konflik horizontal di tingkat masyarakat. Anggapan penerima bantuan tersebut tidak berhak, sebab ada pihak lain yang lebih pantas menerima muncul dalam percakapan keseharian, belum lagi terdapat berbagai kelompok kepentingan yang berusaha meraup untung dari situasi itu. Perlu di catat, bahwa selama ini program bantuan sosial pasti berdampak pada munculnya stigma antar masyarakat itu sendiri. 

Pemerintah berdalih telah menggunakan data yang valid dan objektif, namun masyarakat menganggap itu subjektif dan bias. Ini membuat kita berkaca, bahwa data adalah awal dari pengambilan keputusan bagi pemerintah pusat, namun saat data tersebut tidak terakomodir dari tingkah bawah, maka tidak heran saat ada bantuan sosial pasti terdapat perguncingan di masyarakat.

Belum usai soal itu, juru bicara pemerintah untuk percepatan penagangan Covid 19 di Indonesia dalam siaran persnya mengatakan bahwa "Yang kaya akan menjaga yang miskin, dan yang miskin jangan menularkan penyakit pada yang kaya". Disadari atau tidak, pernyataan ini membuat banyak masyarakat kita merasa tersakiti, terlebih bagi masyarakat kelas bawah, sudah kehilangan pekerjaan dan untuk makan saja sulit justru masih dianggap sebagai pembawah virus? 

Memang sulit untuk menilai dari dirinya sendiri, tetapi ini memberikan kita penalaran bahwa terdapat persoalan di dalam dunia pendidikan, sebab tutur dan perbuatan dilandasi nilai serta ilmu pengetahuan dibentuk dalam institusi pendidikan. Alhasil, saat masih dijumpai pernyataan seperti ini, padahal dia seharusnya mampu memberikan rasa pengayom, berarti ada nilai yang salah diajarakan dalam pendidikan. 

Ini bukan hanya berlaku bagi pernyataan itu, tetapi sering kita jumpai pernyataan-pernyataan serupa dalam kesehariaan yang memposisikan dirinya sudah aman dan sudah stabil. Padahal, kita semua adalah orang yang rentan, bahwa hidup itu penuh dengan ketidakpastiaan dan ketidakprekdisian, contohnya nyatanya adalah saat kita mengalami pandemi seperti saat ini.

Dua bulan pasca kasus pertama ditemukan, umat islam bersiap menyambut ramadhan dan idul fitri, namun kegembiraan dan kegermelapan seperti pada tahun-tahun sebelumnya tidak dirasakan oleh sebagian umat karena protokol kesehatan menganjurkan untuk beribdah di rumah. Pertengahan ramadan menjadi waktu yang mendebarkan bagi sebagian besar perantau yang berharap-harap cemas untuk dapat merayakan idul fitri di kampung halaman. 

Sebab, waktu itu pemerintah mulai membahas tentang pelarangan mudik lebaran sebagai upaya memutus penyebaran virus. "Ambyar" rasanya, pekerjaan tidak menentu, makan sulit, dan mudik dilarang. Media justru dengan sibuk memberitakan tentang perbedaan mudik dan pulang kampung?

Sebelum kita membahas ini lebih lanjut, dari awal maret hingga saat ini, pernahkah kita menyadari bahwa media kita selalu menggambarkan virus ini sebagai hal yang sangat mematikan. Hal tersebut tidaklah salah atau pun benar, tetapi poinnya bahwa media kita secara tidak sadar membentuk nalar di masyarakat yang semakin membuatnya takut dan simpang siur informasi bersama hoax yang merajalela.

Saat ini kita dibuat sangat tergantung dengan teknologi informasi, coba bayangkan tentang work from home, dimana yang bisa melakukannya hanyalah orang-orang yang memiliki piranti teknologi dan akses terhadap internet. Satu lagi tentang sekolah online, dimana terjadi cultural shock, hal itu disebabkan nalar pendidikan kita yang mendasarkan pada institusi, sehingga kurang afdol rasanya kalau menempuh pendidikan tanpa pergi ke sekolah.

Namun, dari dua kasus ini, kita menyadari betapa teknologi saat ini menjadi satu-satunya media penghubung dalam pembatasan jarak dan kontak sosial. Akan tetapi, secara tidak sadar hal ini membentuk nalar kita dengan ketergantungan kepada tekonologi. Coba kembali banyangkan, bagi masyarakat kelas bawah mungkin gawai sudah dimiliki, tetapi soal spesifikasi dan akses internet yang memunculkan ketimpangan. Belum lagi berbicara soal listrik sebagai sumber utama teknologi informasi, bagi daerah yang tidak memiliki akses listrik apa yang akan terjadi?

Momen idul fitri yang ditunggu-tunggu pun tiba, tetapi anjuran silaturahmi secara online menjadikan budaya saling berkunjung dan hidangan kue lebaran terasa kurang lengkap. Momen ini juga menjadi refleksi bagi kita bersama, bahwa idul fitri adalah hari raya umat islam sebagai agama dengan pengikut terbesar di Indonesia, tetapi jauh sebelum itu saudara kita umat Katholik, Nasrani, Hindu, dan Budha juga merasakan hal yang sama, dimana merayakan hari besar secara virtual. 

Sisi lain dari pandemi ini adalah munculnya kesadaran kita akan rasa kasih dan kemunusiaan, virus tersebut tidak memilih akan menyerang siapa, oleh karenanya mengajarkan kita untuk kembali ke dalam diri dengan melihat orang lain sebagai sesama manusia bukan dari agamanya, sukunya, golongannya, atau kelasnya.

Seolah babak baru muncul padahal masih menerapakan logika yang sama, wacana yang muncul setalah 3 bulan kita menjadi saksi dan pelaku perubahan adalah new normal. Publik dibuat terhipnotis dengan hal ini, sebab apa yang rindukan seolah hadir mengatasi ketidakpastian ini. Namun, kembali lagi bahwa new normal ini diperuntukan bagi siapa?

Bagi masyarakat semua kelas atau hanya sebagian kelas tertentu? Setidaknya, kita menjadi sadar bahwa "rindu itu berat" apalagi merindukan kehidupan kita sebelum pandemi ini ada. Sebab, secara sadar maupun tidak sadar selama 3 bulan ini, kita semua tengah menjadi pelaku dan saksi perubahan, oleh karenanya kita tengah merekonstruksi tatanan setelah wabah ini berlalu, tetapi sulit untuk kita kembali ke masa lalu. Kita bisa kembali ke masa lalu sebelum virus ini muncul, tetapi untuk mengambil nilai nya bukan persitiwanya secara detail untuk diambil maknanya dan dijadikan bagian dari harapan setalah wabah ini berlalu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun