Soal menjemput jodoh, jalan saya tempuh sungguh terjal berliku. Tak terhitung saya mencobanya, nyatanya gagal dan gagal lagi. Saya pernah ikut medaftar, acara kontak jodoh di sebuah radio di Surabaya. Pernah minta tolong dicomblangi, sampai di titik pasrah berserah.
Meski sangat tertatih- tatih nyaris menyerah, saya tetap meneruskan langkah. Karena tugas manusia adalah berjuang, apa yang semula mustahil akan berubah menjadi keniscayaan.
Toh, yang jodohnya datang lama. Bukan saya sendiri mengalami, teman sepantaran atau lebih senior juga banyak. Setiap orang dengan garis nasibnya, akan mengalami aneka dinamika kejadian.
Alhamdulillah, masa berjuang menemukan tambatan hati terlewati. Dua dasawarsa sudah berumah tangga, saya menemukan banyak hikmah setelahnya. Hikmah yang mungkin bisa dirasakan, oleh yang takdir jodohnya lama -- termasuk saya.
Jangan Kecil Hati yang Ketemu Jodohnya Lama
Semasa kuliah nyambi bekerja, saya sangat ketat soal keuangan. Mengingat sekolah membayar sendiri, maka setiap pengeluaran diperhitungkan dengan cermat. Kalau sudah kepentok, biasanya saya minta tolong orangtua. Itupun-- seingat saya-- hanya sekali, selama masa kuliah empat setengah tahun.
Mendekati akhir kuliah, saya punya tabungan lebih kemudian membeli motor. Karena mengambil uang muka besar, cicilan tiga tahun tidak terlalu memberatkan. Sebelum tanggal sepuluh, saya sudah siapkan uang untuk angsuran motor.
Demi membayar cicilan motor juga, selain siaran saya jualan baju, mukena, mie instan, kerupuk dan lain sebagainya. Ditawarkan ke teman- teman di kampus, teman kantor, saudara dan sebagainya.
Serupiah dua rupiah begitu berharga, dikumpulkan sedikit demi sedikit untuk menutup cicilan motor. Â Meski bersusah payah, saya sangat menikmati proses kerja keras itu.
Saking susah payah-nya membeli motor, saya merawat motor dengan sebaik- baiknya. Selalu service dan ganti oli tepat waktu, motor kerap dicuci agar tetap kinclong. Agar makin keren, dipasang aksesoris dan seterusnya.