Soal jodoh, adalah takdir yang sangat misteri. Setiap orang tak dibocorkan rahasia, kapan takdir jodohnya akan tiba. Maka biarlah masing-masing orang menjalani, jangan pernah diperbanding- bandingkan.
Ada sebagaian orang yang jodohnya cepat, sementara sebagian yang lain jodohnya lambat. Yang lekas menikah, bukan berarti lebih utama demikian juga sebaliknya. Semesta dengan titahnya, haqul yaqin setiap keadaan pasti terbaik untuk seorang hamba.
Asalkan jodoh tetap diikhtiar, asalkan jodoh tetap dihadirkan pada doa tak berputus. Begitulah tugas kita manusia, menggantungkan pengharapan hanya pada Sang Khaliq.
Meski tak dipungkiri beban itu mulai terasa, saat usia merambat di angka tiga. Sebagian besar lingkungan sosial kita, berasumsi usia 30 seolah menjadi semacam warning tak tertulis. Terutama bagi mereka yang masih bujangan, bagi yang tak kunjung bersanding di pelaminan.
Cibiran cemoohan mulai berhembus, dari berbagai arah mengusik ketenangan. Menjadi sasaran dari banyak orang, karena tidak seperti umumnya orang lain.
Dan saya pernah merasakan sendiri. Umur 29 tahun, sedangkan takdir jodoh belumlah menunjukkan hilal. Saya menjadi orang, berada di posisi diperbincangkan. Bahkan ada saudara usilnya minta ampun, sampai saya kesal sekesalnya malas menemui.
Kemudian setelah penantian panjang terlewati, akhirnya dipersuakan tambatan hati. Tiba- tiba saudara ini minta maaf, atas kelakuan dan ucapan sebelum saya ijab kabul. Tak urung saya bersedia memaafkan, dan jejak buruk saudara ini tak terhapus dari ingatan.
Maka saya sangat meyakini, bahwa jodoh sepenuhnya ada di tangan Tuhan. Tetapi manusia diberi ruang, untuk ikut mengupayakan datangnya jodoh. Â Asalkan jangan sampai putus usaha, jodoh tinggal menunggu waktunya.
Kompasianer, jangan kecil hati yang ketemu jodohnya lama.
---