Maka saya sempat shock, setelah lulus SMA dikoreksi mengaji oleh teman yang mondok. Menurut teman ini, banyak huruf yang salah melafalkan. Sehingga menyebabkan beda tafsir, hal ini termasuk kesalahan fatal.
Setelah kuliah dan bekerja, mengaji tidak seintens semasa kanak sampai SMA. Pikiran dan energi terbelah-belah, sebagian di mata kuliah sisanya untuk pekerjaan di kantor. Alhasil, ingatan mengaji menjadi tumpul.
Dan di pertemanan bapak-bapak taklim, saya seperti menemukan kesamaan frekwensi. Kami yang sudah paruh baya --sebagian lansia--, semangat belajar mengaji. Tetapi soal ingatan hapalan, rata-rata , ya begitulah.
Kami sangat sadar, ingatan ini tak setajam dulu. Hapalan lima ayat surat pendek, saat ditambah malah ambyar. Mengingat sepuluh ayat berurutan, musti mengerahkan energi besar-besaran.
Ngabuburit (Sangat) Berfaedah Buat Bapak Paruh Baya
Dari Asiyah r.h.a, berkata bahwa Rasulullah bersabda, "orang-orang yang ahli dalam al quran akan berada bersama malaikat pencatat yang mulia lagi benar, dan orang terbata-bata membaca al quran sedang ia bersusah payah (mempelajarinya), maka baginya pahala dua kali." HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud.
Sungguh, saya mengakui mengaji dengan tartil tidaklah mudah. Tebal tipisnya, panjang pendeknya, berapa ketukan, ternyata ada teori dan tehniknya. Kapan huruf dibaca diujung lidah, bahkan ada huruf dibaca sambil melipat lidah. Semua ada aturannya, semua ada maknanya.
Saya baru tahu istilah sajjadah, sampai bagian ini musti dibarengi membaca, subhanalloh, walhamdulillah, walaillaha illallohu Allohu akbar. Mad wajib mutasil, dibaca panjang enam ketukan. Mad jais yaitu huruf jim kecil di akhir, tandanya boleh lanjut boleh berhenti.
Duh, kemana saja saya dulu. Belajar ngaji hanya membaca, tanpa tahu tehnik dan teorinya. Rasanya menyesal, banyak waktu terlewatkan untuk membenahi bacaan quran.
Dan membaca hadist di atas, membuat saya tidak berkecil hati. Bahwa belajar quran -- atau apapun yang baik---, tidak ada kata terlambat. Selama nafas dikandung badan, belajar tidak akan ada selesainya.
Bagi Kompasianer di atas empat puluh tahun, sudah saatnya berjaga-jaga. Semakin kerap bersujud, semakin sering melafazkan dzikir. Di usia di atas empat puluh tahun, sudah musti bijak membuat skala prioritas.