Mau diterima atau disangkal, kehidupan ini berjalan --seperti---dengan templete-nya. Meski demikian, gejolak terjadi sangatlah luar biasa. Setiap orang hidup dengan ujian masing- masing, ditimbang jatah sampai ajalnya tiba.
Yang membedakan setiap orang, adalah bagaimana mengelola diri semasa hidupnya. Sehingga sepeninggalnya---suatu saat--, meninggalkan kesan pembawaan, persona, dan citra diri yang melekat di benak orang di sekitarnya.
Lelaki kecil, di bawah tangung jawab dan pengasuhan orangtua. Fase tumbuh kembang dijalani, hingga dewasa dan saatnya mandiri tiba. Bekerja berpenghasilan, dibarengi naluri menikah berketurunan.
Keseruan drama kehidupan beriringan, bisa dari peliknya bersua tambatan hati. Ada yang jalan jodohnya lancar jaya, ada yang berkelok berliku. Bahkan ada yang skeptis, muncul keinginan tidak menikah.
Masalah di dunia kerja juga ada, kisruh adu argumen mewarnai keseharian. Dengan teman sekantor atau satu divisi, terjadi persinggungan susah didamaikan. Jenjang karir tidak bisa melesat, terganjal masalah pribadi dengan atasan.
Masih ada masalah dengan tetangga, masalah dengan saudara, dan seterusnya, dan seterusnya. Di kemudian hari saya menyadari, bahwa skenario hidup dirancang --sebenarnya---tak ada yang sia-sia.
Ada yang karirnya moncer, ada yang terkesan biasa saja bahkan stuck. Semua adalah timbal balik, atas usaha yang pernah dikerahkan. Kalaupun yang sikut-sikutan meroket, biasanya tak akan bertahan lama.
Yang takdirnya menikah di usia ideal, bukan berarti lebih baik dari menikahnya lewat waktu. Yang hamil dan melahirkan lebih dulu, juga tidaklah lebih mulia. Jalan takdir setiap orang berbeda, tak bisa disamakan tak elok dibandingkan.
Tetapi bahwa senyatanya, soal takdir lelaki memang unik. Setelah dewasa dan menikah, dirinya bukan lagi sepenuh miliknya. Tetapi dengan kesadaran penih, musti dipersembahkan untuk orang dikasihi.
Lelaki dewasa merelakan dirinya, menempuh karir sejati lelaki sejati.